Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Perpu I/2020 Digugat, Ini Tanggapan Kemenkeu

M Ilham Ramadhan
29/4/2020 07:05
Perpu I/2020 Digugat, Ini Tanggapan Kemenkeu
Hakim Konstitusi Aswanto (tengah) memimpin sidang 3 permohonan uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia(MI/Adam Dwi)

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (28/4) menggelar sidang perdana gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid-19) yang diterbitkan pada 31 Maret 2020.

Penggugat Perppu itu ialah mantan Ketua Majelis Pemusywaratan Rakyat (MPR) Amien Rais, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sirajuddin Syamsuddin dan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono; Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Maki), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 dan perorangan atas nama Damai Hari Lubis.

Gugatan tiga pihak tersebut menyangkut keberadaan pasal 2 ayat 1 huruf a angka 1, 2 dan 3, pasal 27 dan pasal 28. Gugatan dilayangkan karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dibatalkan.

"Pasal 2 Ayat 1 huruf a angka 1, 2, dan 3 dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi bukti bahwa pemerintah menihilkan arti penting persetujuan DPR. DPR tidak bisa menggunakan fungsi persetujuanya secara leluasa," ujar kuasa hukum para penggugat, Ahmad Yani di muka sidang.

Diketahui, pada pasal 2 ayat 1 huruf a dalam Perppu 1/2020 itu memberikan kewenangan bendahara negara untuk menetapkan batas defisit anggaran di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa batas maksimal. Ketentuan itu mengikat pada UU APBN hingga 2022.

Menanggapi hal itu, staf khusus Menteri Keuangan bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin kepada Media Indonesia mengatakan, apa yang diatur dalam pasal 2 Perppu 1/2020 ialah memberikan kelenturan dalam pengelolaan pengeluaran melalui realokasi dan refokusing dari kegiatan non prioritas untuk penanganan pandemi covid-19.

"Perppu 1/2020 ini dibuat dengan itikad baik pemerintah dan dengan konsultasi cukup intensif dengan Komisi XI DPR," imbuh Masyita.

"Kami apresiasi dukungan Komisi XI terhadap Perppu ini karena memang kita sama-sama ingin memberi bantalan pada perekonomian," sambungnya.

Menurutnya, Perppu 1/2020 dibuat ditengah situasi kegentingan yang memaksa, karena kondisi perekonomian diperkirakan akan sangat terpengaruh oleh pandemi covid-19 yang sedang terjadi dan eskalasinya di luar Tiongkok sangat cepat sejak Februari.

Kondisi perekonomian nasional di awal tahun hingga pertengahan Februari, lanjut dia, sejatinya masih dalam koridor yang positif. Itu terlihat dari aliran modal yang cukup tinggi dan berbuntut pada penguatan nilai tukar rupiah saat itu.

Akan tetapi, setelah pandemi menjangkiti Tanah Air, perekonomian nasional yang semula baik berubah begitu cepat, tidak saja di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Oleh karenanya, kata Masyita, pemerintah merespon hal tersebut dengan mengeluarkan paket kebijakan stimulus 1 dan 2 yang saat itu berfokus untuk mendukung dunia usaha dan sektor industri terdampak.

Secara pararel, pemerintah kala itu mulai menyiapkan Perppu untuk menghadapi sifuasi kegentingan memaksa tersebut. Bahkan, International Monetary Fund (IMF) menyebut dampak covid-19 pada ekonomi merupakan terburuk sejak terjadinya the Great Depression yang berlangsung selama satu dekade sejak 1929 hingga 1939.

"Pasal 2 dalam Perppu 1/2020 memberikan APBN kemampuan untuk dapat merespon kondisi dengan cepat, utamanya dengan realokasi dan refokusing anggaran dengan berfokus pada kepada tiga hal utama yakni penanganan kesehatan akibat covid-19, bantuan sosial dan dukungan terhadap dunia usaha terdampak terutama UMKM," jelas Masyita.

"Bisa dibayangkan, dalam kondisi normal, untuk merealokasi anggaran dari satu program ke program lainnya dalam satu kementerian atau merealokasi anggaran nonprioritas menjadi bansos yang artinya butuh pindah kementerian/lembaga, perlu persetujuan DPR," sambung dia.

Proses itu, lanjutnya, tidak dapat berlangsung cepat untuk menghadapi pandemi yang penyebaran dan mengular secara cepat pula ke berbagai sektor ekonomi. Untuk itu diperlukan langkah yang tidak biasa untuk menghadapi situasi yang juga tidak biasa, yakni melalui Perppu.

Menyoal pelebaran defisit di atas 3% menjadi 5,07% terhadap PDB, kata Masyita, merupakan kebijakan rasional. Pasalnya negara seperti Amerika Serikat dan Australia bahkan mengeluarkan stimulus fiskalnya hingga 10% dari PDB-nya.

"Pemerintah melebarkan defisit hingga 5.07% tahun ini untuk membantu meringankan beban perekonomian agar tidak terjun bebas. Mengapa dilebarkan diatas 3% hingga 2022? Agar perekonomian tidak shock setelah stimulus dengan defisit sebesar 5.07% di 2020, perlu smoothing pengeluaran pemerintah di tahun berikutnya sebelum kembali ke maksimal 3%," tutur Masyita.

Pada pasal yang sama juga dibahas mebgenai pembiayaan pelebaran defisit melalui berbagai sumber. Lagi, hal ini merupakan langkah tidak biasa yang perlu diambil pemerintah dalam menghadapi pandemi covid-19.

Pemerintah, imbuh Masyita, dapat membiayai pelebaran defisit dengan menggunakan sisa anggaran lebih (SAL), dana abadi, dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu dan dana yang dikelola Badan Layanan Umum termasuk membuka ruang bagi Bank Indonesia untuk dapat membeli Surat Utang Negara (SUN) di pasar perdana.

Diketahui pula, dari Perppu 1/2020 pemerintah menganggarkan Rp405,1 triliun untuk pencegahan dan penanganan dampak covid-19 yang didalamnya dianggarkan pada bidang kesehatan termasuk insentif tenaga medis sebesar Rp75 triliun, peluasan jaring pengaman sosial Rp110 triliun, dukungan untuk dunia industri Rp70,1 triliun dan pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun. (Mir)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya