Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SEBUAH karya menyerupai diorama dengan relief yang mengisahkan sebuah keluarga diposisikan menyerong di depan pintu masuk Gedung A Galeri Nasional Indonesia. Diorama itu ialah perjalanan hidup seniman asal Tegal, Jawa Tengah, Entang Wiharso, yang mempresentasikan sebuah pagar, seolah menjadi sekat bagi batas-batas yang selalu dipertanyakan Entang dalam hidup.
Semasa hidup, Entang berkuliah di ISI Yogyakarta. Ia lalu bermukim di Jakarta, kemudian berkelana ke Amerika Serikat dan menikah dengan ahli sejarah seni, Christine Cocca. Di pameran bertajuk Flaneur: Kembara Lintas Dunia, Galeri Nasional Indonesia (GNI) mengajak publik untuk menyelami berbagai representasi karya seni dari para seniman Indonesia yang ada di peta seni global.
GNI membaginya dalam empat fragmen, Migrasi: Pendidikan, Petualangan, dan Diaspora berlanjut ke Representasi di Panggung Global, lalu Seni Lintas Kultural, dan terakhir Identitas Lokal dalam Dialog Global.
Pengelompokan itu di antaranya didasarkan bukan pada lini masa seniman tersebut hidup. Namun, itu diutamakan pada subtema sehingga di tiap fragmen juga muncul karya-karya seniman lintas zaman.
Dalam bahasa asalnya, Prancis, flaneur bermakna kegiatan ngeluyur tanpa tujuan di seputar kota. Konsep yang lekat dengan kota Prancis pada abad ke-19. Flaneur pada pameran itu seperti ditujukan sebagai pengembaraan para seniman Indonesia dan karya mereka di panggung global bisa karena proses migrasi, menempuh studi, atau menjadi eksil.
Karya milik begawan seni Raden Saleh, Kapal Tenggelam (circa 1840), mejeng di fragmen pertama Migrasi: Pendidikan, Petualangan, dan Diaspora dari seniman Indonesia. Itu adalah karya milik Raden Saleh sebelum karya populer Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857). Di lukisan itu, Raden Saleh menggambar dua kapal yang tengah tertelan oleh ombak ganas. Warna dominan abu-abu bergaya realis menjadikan suasananya muram dan romantik.
“Raden Saleh betul pergi keluar (Indonesia) juga, tapi sebenarnya dia membawa hal dari luar ke Indonesia. Dia membawa seni modern ke Indonesia,” kurator pameran Flaneur: Kembara Lintas Dunia, Alam Wisesha, saat sesi tur, Kamis (17/10).
Karena di fragmen itu juga menyatukan para seniman yang menempuh studi hingga diaspora, kurator pun menggabungkan karya-karya para seniman yang sempat mukim atau bertualang di luar negeri. Dalam satu tembok, misalnya, kurator sengaja memajang tujuh karya lukis milik Mochtar Apin, Affandi, dua karya Srihadi Soedarsono, Kartika Affandi, Tisna Sanjaya, dan Sudjojono menjadi ‘wall of Europe’. Sebuah karya seni yang lahir ketika para seniman tersebut mengembara ke negara-negara Eropa. Lini masa karya itu membentang dari 1952 ketika Affandi melukis pemakaman Raja Inggris King George VI, hingga 1998 dengan kesaksian Tisna Sanjaya melihat seorang kawan Jermannya harus dieksekusi dan karya-karyanya diberangus, We Wieder Krieg “Tong Perang Wae”.
Medianya pun beragam. Affandi, yang melukis pemakaman, memanfaatkan cat minyak dan lebih memilih warna hitam legam selaras dengan Tisna yang juga melukiskan ketragisan dengan etsa dan aquatint. Kemudian Sudjojono memulas Kota Lama dengan krayon yang terkesan lebih ringan dan kalem. Lalu Kartika Affandi membingkai dinginnya Austria lewat kanvas yang masih menyisakan ruang putih untuk memotret rumah petani Austria.
Dipamerkan di luar negeri
Dalam wadah seni yang lebih formal dan terorganisasi, karya seni para seniman Indonesia semakin dilegitimasi dengan keikutsertaan nama-nama Sudjojono, Basuki Resobowo, dan beberapa nama lain pada 1951 bersama Lekra menghadiri Festival Pemuda dan Mahasiswa Sedunia di Berlin. Mereka menggunakan seni rupa sebagai alat dialog lintas budaya di tengah Perang Dingin, dengan karya-karya yang kemudian dipamerkan di Moskow dan Beijing.
Berlanjut pada 1952, ketika seni rupa modern Indonesia pertama kali ditampilkan di Amerika Serikat melalui pameran Modern Indonesian Paintings di New York. Berlanjut dalam keikutsertaan Indonesia dalam Biennale II di Sao Paulo, Brasil, pada 1953, serta undangan Affandi ke Venice Biennale 1954. Representasi seni Indonesia di platform seni yang terorganisasi juga berlanjut pada 1980-an, 1990-an, 2000, dan hingga kini.
Dalam fragmen Representasi di Panggung Global, salah satu yang dimunculkan ialah karya bergaya hiperrealis milik seniman Rustamadji bertajuk Pohon Nangka (1985). Pada karya itu, terpotret buah nangka yang bergerombol di bagian tengah pohon. Dua buah nangka besar dan sisanya kecil. Karya itu memperlihatkan latar suasana perdesaan yang asri, sebuah kebun dengan latar dua orang di belakang yang digambar lebih gelap.
Fragmen ketiga, GNI memilih periodisasi ketika pemerintah turut dalam kebijakan strategi budaya melalui Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) pada 1990-1991 yang diinisiasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan. Festival tersebut menampilkan sekitar 200 kegiatan di 50 kota dari 24 negara bagian AS, mencakup berbagai bentuk seni, termasuk seni rupa kontemporer dan tradisional. Dari KIAS, lalu berlanjut ke pameran serupa di Belanda (PAKIB) pada 1992-1993.
Fragmen terakhir, Identitas Lokal dalam Dialog Global membawa karya seni kontemporer yang bisa dibilang sangat mencolok dari tiga fragmen sebelumnya. Pun menjadi salah satu yang turut merumuskan munculnya bentuk-bentuk seni rupa kontemporer Indonesia kini.
Nama-nama Heri Dono, Mella Jaarsma, dan Krisna Murti ialah seniman yang mengisi fragmen itu. Dengan karya instalasi yang menyilangkan unsur lokal dan tradisi Indonesia, turut mendobrak pakem seni Barat yang sempat memandang miring seni gaya lokal tersebut pada era 1980-an.
Dalam The Fire Eaters (2011), Mella memanfaatkan emblem yang dijahit dan membentuk selubung yang menutup dua orang di dalamnya. Emblem-emblem bertulis kemasan jamu kuat, yang membicarakan pertarungan dan mencari keseimbangan.
“Tanpa disadari bicara hal yang dirasakan juga oleh dunia. Mella di karya ini mengatakan manusia di Bumi sangat rapuh. Berada di antara pilihan mau 'bertarung' atau mencari keseimbangan. Bertarung dalam konteks perang/fighting, dominasi kelakian/patriarki, dan memanfaatkan perempuan dan bicara untuk global,” ungkap Alam.
Heri Dono dengan Born and Freedom (2004) juga menonjolkan unsur lokal lewat karakterisasi wayang-wayang dalam instalasi campuran yang juga menggabungkan unsur audio.
“Di karya ini dia berbicara tentang kekuasaan otoriter yang tidak hanya dirasakan Indonesia, tapi juga masyarakat global. Namun, dia menggunakan gaya yang dekat dengan dirinya,” tutur Alam merujuk Born and Freedom yang juga menggunakan rantai seperti suatu kendali untuk mengontrol.
Selain para seniman Indonesia yang mengembara ke berbagai dunia, pameran itu mengajak kita untuk mengembara pada lini masa seni pada tiap periode zaman dan perkembangan artistiknya. (M-3)
Pengembalian pusaka oleh kolektor perorangan juga dialami Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ratusan pusaka rampasan yang telah dikembalikan pemerintah Belanda bisa sekadar jadi benda mati jika pemerintah Indonesia tidak melanjutkan dengan riset menyeluruh.
Galeri seni baru di Jakarta sudah mampu menarik minat seniman internasional. Kisaran harga sebuah karya pun kini kian ramah untuk kelas menengah.
Dalam lukisan karyanya, Eddy berupaya menerjemahkan bagaimana bentuk isi otak Ken Arok.
ROTAN-ROTAN menjulur, merambat dalam pola yang unik. Bergelombang dan berombak dalam tiga bagian besar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved