Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pertunjukan Cahaya di Menara Filosofis

Abdillah M Marzuqi
29/9/2024 05:10
Pertunjukan Cahaya di Menara Filosofis
(Dok. NUANU CITY)

ROTAN-ROTAN menjulur, merambat dalam pola yang unik. Bergelombang dan berombak dalam tiga bagian besar. Seperti muncul dari dasar bumi lalu merambat sambung-menyambung ke puncak. Terjaga dalam jalurnya, jalinan itu juga luwes dan lentur hingga pucuk.

Suluran rotan itu sekaligus menyembunyikan struktur inti yang terdiri dari belasan tiang pancang dan rakitan kayu-kayu keras. Menara setinggi 30 meter yang berada di bibir Pantai Nyanyi, Nuanu City, Bali, itu memang butuh kukuh menahan terpaan angin laut.

Itulah Menara Tri Hita Karana (THK Tower) yang saat siang layaknya mercusuar yang kukuh. Sebaliknya, pada malam hari, pertunjukan bermula. Rotan-rotan berubah menjadi kanvas lukis digital. Cahaya-cahaya berpendar dan menjadikan menara itu hidup.

Baca juga : ​​​​​​​Gabungan Seni & AI Pertama di Bali, Nuanu City Luncurkan Menara Tri Hita Karana

Tidak hanya bisa dipandang, menara itu dapat ditapaki. Ada 108 anak tangga yang akan mengantarkan ke puncak yang memiliki pemandangan luas ke laut Bali, Kota Denpasar, sampai area persawahan yang berpadu mulus dengan rumah penduduk khas Bali.

Menara THK dirancang arsitek asal Prancis, Arthur Mamou-Mani, yang menerjemahkan kesadaran filosofis masyarakat Bali yang bermuara pada Tri Hita Karana. Sebuah konsep hidup yang menitikberatkan pada keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Sebab itu, desain uniknya juga dibuat dengan pertimbangan faktor ekologis. Bahan menara disusun dari kayu ulin yang didaur ulang dari bekas jembatan tua. Kayu-kayu itu digunakan kembali sebagai elemen struktur utama menara, tangga, lantai, dan langkan. Dari dekat, tampak goresan dan lubang-lubang kecil di kayu itu.

Baca juga : Menyesapi Keseimbangan Hidup Asmat

Kayu ulin bersengkarut membentuk struktur memuncak. Jika dilihat dari bawah menara, ternyata menyisakan rongga di bagian tengah dan tembus pandang hingga pucuk. "Idenya dari sang arsitek bahwa orang yang berdiri di bawah bisa melihat langit langsung," terang produser Sasha Bazarkin dalam acara peresmian Menara THK di Nuanu City, Jumat (13/9).

Pemilihan rotan juga merupakan perwujudan dari visi tentang keindahan dalam kontras antara kekuatan dan kerapuhan. Rotan sengaja dipilih atas pertimbangan pertumbuhan yang cepat dan sifat regeneratif. Kendati demikian, rotan juga sensitif dengan cuaca.

Alih-alih mengandalkan epoksi berbasis minyak bumi yang sering digunakan pada bambu, rotan justru diikat rapat dan dilapisi tembaga sulfat untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Bioepoksi yang berasal dari minyak goreng juga sengaja dipilih demi tujuan ekologis. "Rotan ini rapuh karena karakter dan struktur, dan warnanya yang sensitif terhadap waktu. Jadi, kami memberi perlakuan khusus," tambah Bazarkin.

Baca juga : Galerist dan Kolektor Unjuk Gigi di Arise

I Made Wirahadi ialah sosok di balik jalinan rotan di Menara THK. Sebenarnya, ia lebih dikenal sebagai seniman bambu sehingga bekerja dengan material rotan sangat menantang. Penggunaan rotan sebagai instalasi di luar ruangan juga belum banyak. Karena itu, penggunaan rotan di instalasi luar ruang itu ialah seni eksperimental. "Ya, pastinya sangat menantang karena saya terbiasa dengan bambu. Ini (rotan) adalah hal yang baru," terang sosok yang akrab disapa Chiko itu.

 

Pertunjukan cahaya

Baca juga : Operasi Gabungan Bea Cukai Ungkap Penyelundupan Rotan 50,3 Ton di Pontianak

Saat pertunjukan cahaya, rotan-rotan akan berubah menjadi layar imersif yang menjadikan keseluruhan tubuh menara seolah menjadi kanvas yang penuh lukisan cahaya berwarna. Selama 11 menit, menara menjadi lebih hidup dan seolah mempunyai jiwa. Cahaya-cahaya kadang berlarian, berkumpul, berpendar, dan menyebar.

Terdapat lebih dari 1.000 perangkat cahaya yang dipasang di seluruh bagian menara serta didukung 18 proyektor dan sistem suara canggih. "Kami meneruskan cahaya itu dengan kekuatan proyektor," tambah Sasha.

Pertunjukan cahaya itu menerjemahkan tiga nilai inti filosofi Bali, yakni parahyangan (hubungan manusia dengan dunia spiritual), palemahan (hubungan manusia dengan alam), dan pawongan (hubungan manusia dengan sesama). Penerjemahan itu juga mengalami bentuk baru dengan pelibatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Para seniman AI mencoba memadukan kecerdasan buatan dengan seni generatif.

Hasilnya, lukisan cahaya di Menara THK disebut tidak akan sama, tetapi terus berkembang. AI akan mendaur ulang, mencipta kembali, untuk menghasilkan bentuk baru. Pola dan bentuk cahaya yang ditampilkan akan selalu mengalami proses.

Layaknya arti kata nuanu yakni berproses, Menara THK menjadi pedoman sekaligus visi berkarya yang tetap berpegang pada hubungan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya