Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Menyesapi Keseimbangan Hidup Asmat

Bintang Krisanti
15/9/2024 05:10
Menyesapi Keseimbangan Hidup Asmat
Desain baru MKKA.(MI/BINTANG KRISANTI)

LORONG itu diselimuti kain merah. Dari langit-langitnya tergantung pula kain merah tujuh lapis yang membentuk lapisan pintu melengkung.

Setiap lapisan semakin bawah menjuntai sehingga pengunjung harus semakin membungkuk saat berjalan melewatinya. Meski singkat, area muka pameran itu membuat pengunjung mampu menyesapi konsep 'Lorong Kelahiran' yang menjadi penamaannya.

Konsep ‘lahir’ kemudian bersambung dengan adanya patung kayu setinggi sekitar 40 cm di ujung lorong. Patung itu berbentuk perempuan dari suku Asmat yang tengah menyusui anaknya. Patung berjudul Patung Mama dan Anak itu merupakan juara pertama pada lomba ukir 1985.

Baca juga : Galerist dan Kolektor Unjuk Gigi di Arise

Patung tersebut merupakan koleksi Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat (MKKA) di Agast, Kabupaten Asmat, Papua, yang selama 6-16 September ini bisa dilihat di pameran Asamanam di Gedung Han Awal & Partners, Tangerang, Banten. Koleksinya bukan hanya karya ukir, melainkan juga karya anyam, baik tikar maupun noken (tas).

Di area bawah, terdapat pula instalasi Selasar Befak yang terinspirasi dari rumah befak suku Asmat. Rumah yang terbuat dari pohon palem itu biasa dibangun di pinggir sungai sebagai rumah singgah saat berburu. Di halaman belakang gedung berdiri tiruan rumah jew, rumah adat suku Asmat yang ditinggali para lelaki yang belum menikah.

 

Baca juga : Warna-warni Hidup Shimizu di Atas Kanvas

Keseimbangan

Dalam konferensi pers setelah tur pameran, Sabtu (7/9), Ketua Lembaga Musyawarah Adat Asmat yang juga tim MKKA David Jimanipits menjelaskan asamanam dalam bahasa Asmat berarti keseimbangan. “Nama sebenarnya itu Asamat, artinya manusia. Jadi Asmat, ya mungkin itu karena orang Belanda (yang) sebut. Lalu moto kehidupannya Ja asamanam itu artinya keseimbangan. Seimbang dengan leluhur, dengan manusia, dengan alam,” katanya.

Koleksi-koleksi di pameran pun diletakkan untuk menunjukkan tiap-tiap bentuk keseimbangan itu. Seperti koleksi-koleksi di sisi kanan setelah Lorong Kelahiran yang mencerminkan keseimbangan dengan alam. Di situ terdapat patung berbentuk tiga manusia yang berdiri di atas beberapa ikan. Patung itu memiliki pesan orang Asmat tidak mengambil lebih banyak daripada yang dibutuhkan.

Baca juga : Menghidupkan Ingatan Melalui Seni Patung

Selain menampilkan koleksi, pameran yang diselenggarakan Yayasan Widya Cahya Nusantara, Uma Nusantara, MKKA, dan Tirto Utomo Foundation itu juga memperlihatkan rencana revitalisasi MKKA. Arsitek sekaligus pendiri Uma Nusantara, Gregorius Antar Awal (Yori Antar), mengungkapkan revitalisasi diperlukan karena masyarakat Asmat menilai museum yang sekarang lebih menyerupai tempat penyimpanan, bukan budaya hidup (living culture) mereka.

“Karena sebenarnya orang Asmat itu mengukir untuk alam. Jadi, dengan masukan para seniman, museum nantinya akan berbasis outdoor. Lalu kalau ada yang tanya, gimana nanti kayunya lapuk, bagi mereka (Asmat) justru memang filosofinya kembali ke alam. Kalau lapuk, itu menyuburkan alam,” tutur arsitek yang berperan dalam konservasi Desa Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur, yang kemudian dinobatkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 2012, itu.

Bangunan MKKA yang ada saat ini dibangun Keuskupan Agast pada 1973 demi melestarikan seni ukir Asmat. “Keuskupan juga membuat Festival Asmat yang berjalan tiap tahun dan sekarang sudah berusia 37 tahun (sejak 1987). Karya-karya terbaik dari festival itu disimpan di museum,” kata Mgr Aloysius Murwito yang menjabat Uskup Agast sejak 2002.

Baca juga : Makhluk Mitologi Chimera Hiasi Karya Patung Paccinini

Dalam proyek panjang revitalisasi, MKKA akan tetap di lokasi sama, tetapi dengan penambahan sejumlah bangunan berkonsep terbuka lengkap dengan plazanya. Seluruh bangunan yang berada di lahan Keuskupan seluas sekitar 6 hektare itu berkonsep bangunan panggung karena juga berada di atas rawa-rawa.

“Konsepnya tanpa AC. Festival bisa di sana. Saat enggak ada festival, jadi ruang terbuka, pusat informasi turis, suvenir, workshop,” jelas Yori. Produk yang ditampilkan bukan hanya patung, melainkan juga sandang dan berbagai produk makanan. Dengan begitu, ia mengatakan museum itu menyatukan living museum (museum hidup) dan living culture (budaya hidup).

Proyek revitalisasi MKKA disambut baik oleh David Jimanipits. “Harapan saya orang bisa datang dan belajar dari museum kami. Kami butuh tempat-tempat berlatih seni, pentas tari, sehingga museum dapat menjadi tempat yang hidup. Patung itu, kan, mati, tetapi bagaimana cara kita menampilkan budaya yang hidup?” katanya. Selain itu, menurutnya, sangat disayangkan jika museum Asmat yang representatif justru ada di luar negeri, contohnya The American Museum of Asmat Art di Amerika Serikat.

Direktur MKKA John Ohoiwirin mengungkapkan setiap tahun koleksi museum bertambah dengan karya-karya terbaik dari ajang lomba ukir yang diadakan di setiap Festival Asmat Pokman. “Tahun ini kami kumpulkan 1.195 karya, 30%-nya karya seniman muda,” katanya.

Soal gaya ukir, ia mengungkapkan ada pergeseran, seperti tubuh yang lebih simetris dan detail. “Misalnya ada keriput-keriput, tapi itu sebetulnya bukan autentik karena yang diukir itu, kan, dari bayangan roh. Jadi, mana ada sampai keriput terlihat?” jelasnya. Meski memaklumi pergeseran terjadi karena perkembangan zaman dan selera pembeli, John mengungkapkan pihaknya juga mendorong seniman untuk mempertahankan ciri khas ukiran Asmat. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya