Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PATUNG berwujud manusia dengan mimik sedih sedang membaringkan badannya di atas peti mati yang bagian bawahnya disanggah buku besar bertuliskan ’Indonesian History of Mass Murdered 1965-1966’. Karya seni milik Dolorosa Sinaga ini persis ditempatkan di depan pintu masuk Gedung A Galeri Nasional dan menjadi pengingat sebuah tragedi kelam di Tanah Air.
Karya seni memang tak sekadar menyajikan hiburan, tetapi juga menjadi medium menyalurkan aspirasi. Berbeda dengan demonstrasi yang menyuarakan aspirasi dengan bersuara, karya seni rupa seperti patung, lukisan, fotografi, dan lainnya menyampaikan aspirasi dalam kesunyian, tapi tetap tersampaikan dengan baik.
Hal inilah yang dilakukan dua seniman Indonesia, Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso, dengan Pameran Patung dan Aktivisme yang sedang berlangsung hingga 19 Agustus di Galeri Nasional Indonesia. Lebih dari 100 karya seni baik patung maupun lukisan hadir di sana untuk menyuarakan sejumlah keresahan yang terjadi di masyarakat, termasuk deretan masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Lama.
Baca juga : Patung-patung yang 'Berbicara'
“Seperti kita tahu masalah 1965-1966 adalah kasus pembantaian besar yang pernah terjadi di Indonesia dan sampai sekarang (masalah itu) rasanya seperti dihindari untuk diselesaikan dan dibicarakan. Bayangkan itu sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Ketika karya seni ini bisa ditaruh di depan Galeri Nasional Indonesia, di mana merupakan instansi seni tertinggi di negara ini, tentu menjadi hal yang luar biasa,” kata kurator pameran Alexander Supartono di Galeri Nasional Indonesia, Kamis (25/7).
Pria yang akrab disapa Alex itu menjelaskan tragedi 1965-1966 merupakan pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya. Tragedi yang sudah berlangsung puluhan tahun lalu itu belum juga mampu diselesaikan negara hingga hari ini. Karya seni ini hadir didedikasikan untuk mereka yang dibungkam tanpa peradilan dan disiksa dengan kejam.
Dolorosa sebagai pemilik karya pun menuliskan pesan yang tersisip dalam keterangan patung. Karya seni ini, kata Dolorosa, merupakan bentuk gugatannya kepada negara terkait tragedi pembunuhan massal 1965-1966. ‘Melalui seni ini saya menggugat negara agar menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dibungkam selama 59 tahun. Satu per satu para penyintas pergi membawa harapan ke kuburnya, dan yang masih hidup, tua renta, tanpa henti menjuangkan keadilan bagi hidupnya dan keluarganya’, tulis Dolorosa.
Baca juga : Makhluk Mitologi Chimera Hiasi Karya Patung Paccinini
Masuk ke bagian dalam Gedung A Galeri Nasional Indonesia, pengunjung bakal langsung dihadapkan dengan sebuah karya instalasi berisikan puluhan patung berwujud manusia tanpa busana dengan ukuran kecil yang tegap berdiri di atas arit dan badik. Berbahan dasar alumunium, kayu jati, dan besi, karya seni milik Budi Santoso itu berjudul Anatomi Kerja.
Sang kurator, Alex, menyebut instalasi itu dibuat berdasarkan 40 foto triptych buruh perkebunan karet beserta keluarga di Sumatra Selatan pada 1880-an. Koleksi foto itu milik seorang dokter asal Jerman, Bernhard Hagen, yang pernah bekerja di perusahaan perkebunan karet Belanda. Dia memiliki foto-foto tersebut untuk mempelajari penyakit kulit yang menyebar di kalangan buruh. Karya seni ini menjadi pengingat bahwa pernah terjadi permasalahan besar yang terlupakan di Sumatra Selatan.
“Dalam karya ini Budi seperti meneruskan usaha Bernhard Hagen untuk merekam tubuh-tubuh itu dalam potret tiga dimensi, menjadikannya patung yang memungkinkan pandangan 360 derajat. Budi memakai alat-alat kerja seperti badik dan arit sebagai landasan mereka berdiri. Karya seni yang menampilkan kombinasi antara tubuh telanjang dan alat kerja ini diberi judul Anatomi Kerja,” tutur Alex.
Baca juga : Praktik Distilasi dalam Berkesenian
Sosok perempuan
Di sisi lain, sebuah patung wujud sosok perempuan berwarna emas berukuran 109 x 78 x 230 cm menjulang tinggi di antara patung-patung lain. Karya seni berjudul I, The Witness ini milik Dolorosa yang dia buat dengan material pelat besi. Dalam keterangan tertulis bahwa patung ini merupakan sosok Ita Martadinata, seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan saat terjadi kerusuhan pada Mei 1998.
Baca juga : Lebaran para Seniman Mengekspresikan Motif Ramalan
I, The Witness adalah sebuah karya seni penghormatan terus-menerus dan perjuangan menuntut keadilan untuk Ita Martadinata. Pada 8 Oktober 1998, Ita Martadinata dibunuh dengan brutal di kamar tidurnya, hanya sepekan sebelum dia bersaksi di depan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.
“Kasus pembunuhan ini belum terpecahkan sampai sekarang. Lewat tangan Dolo, Martadinata hadir dalam keabadiannya dalam sosok langsing yang berdiri tegap di depan meja kesaksian. Dia (digambarkan) memakai kebaya encim berwarna keemasan, menjadi simbol kekekalan sekaligus mewakili identitas etnisnya. Tatapan matanya yang tajam dan mulutnya yang terbuka (pada patung) menjadi simbol untuk terus menyuarakan mereka yang tertindas,” ujar Alex.
Di ruangan lain, pengunjung juga akan menemukan empat patung wujud wanita dengan judul Seri Kartini. Karya milik Budi Santoso itu seolah ingin menyampaikan kehendak seorang perempuan untuk merdeka dan berpendidikan. Hal itu pun terlihat dari wujud seorang wanita tengah memegang buku pada dua patungnya (Seri Kartini: Kartini Muda dan Seri Kartini: Head on Fire).
Pada patung lainnya terlihat sosok wanita berkebaya ungu muda dengan rambut seolah terembus angin. Yang menarik perhatian, pada bagian kebaya dari patung berjudul Seri Kartini: Aku Kartini itu tertulis pesan yang pernah disampaikan Kartini dalam suratnya, ‘Hanya satu kemauan yang boleh dan harus kita punya! Kemauan untuk mengabdi kepada kebajikan’, pesan tersirat terkait kemerdekaan perempuan.
“Pada seri Kartini Muda, kita dapat melihat bentuk patung yang dibuat pipih menjulang, menjadi gambaran sosok perempuan yang terlihat berbicara soal harapan. Harapan akan masa depan dari seorang perempuan muda,” ungkap Alex.
Selain karya-karya seni yang telah dijabarkan, masih banyak karya seni patung lain milik Dolorosa dan Budi, termasuk sebuah karya seni berjudul Monumen Tragedi Semanggi 1998, yang menggambarkan sekelompok orang terlihat sedang membopong jenazah. Karya seni berukuran 350 x 180 x 186 cm itu dibuat oleh Dolorosa dengan material fiberglass.
Belajar merawat tanaman
Karya lain milik Dolorosa ada yang berbahan fiberglass berwarna keemasan dengan judul Berdiri tanpa Kepala. Sesuai dengan judulnya, karya seni ini menampilkan empat sosok berdiri tegak tanpa kepala. Ada pula karya seni patung berukuran besar (326 x 161 x 300 cm) dengan judul Monumen Penghilangan Paksa di Indonesia, berwujud sebuah frame besar yang sedang dipegang sosok orangtua (ibu dan ayah) seolah menanti anaknya kembali. Karya seni ini menyimbolkan tragedi penghilangan paksa aktivis kemanusiaan dan HAM di masa Orde Baru.
Di sisi lain, patung berjudul Environmental Women dan Seri Petani Kecil (2 patung) milik Budi ini terinspirasi dari anak perempuannya yang berusia 6 tahun, yang diajari untuk merawat tanaman sejak kecil. Karya lainnya yang juga tidak kalah menarik ialah seni patung berjudul Gen Z, menggambarkan sosok perempuan yang tidak bisa lepas dari gawai.
Selain patung, Budi juga menghadirkan 40 seni lukis dengan ragam rupa mulai dari Seri Burung Hantu, Seri Kepala, Seri Potret Pekerja, hingga Seri Kambing. Menariknya, Budi membuat 40 seni lukis tersebut menggunakan tinta hitam dan air tembakau yang masing-masing berukuran 29 x 38 cm.
Bagi yang berminat menikmati ratusan karya seni milik Dolorosa dan Budi bisa datang langsung ke Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, dengan jam kunjungan pada pukul 09.00-19.00 WIB. Untuk bisa masuk ke area pameran, pengunjung perlu melakukan registrasi di laman resmi Galeri Nasional Indonesia. Adapun pameran dapat diakses dengan gratis. (M-3)
Pengembalian pusaka oleh kolektor perorangan juga dialami Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ratusan pusaka rampasan yang telah dikembalikan pemerintah Belanda bisa sekadar jadi benda mati jika pemerintah Indonesia tidak melanjutkan dengan riset menyeluruh.
Pameran Flaneur membawa pengunjung melintasi setiap zaman dan perkembangan dunia seni.
Galeri seni baru di Jakarta sudah mampu menarik minat seniman internasional. Kisaran harga sebuah karya pun kini kian ramah untuk kelas menengah.
Dalam lukisan karyanya, Eddy berupaya menerjemahkan bagaimana bentuk isi otak Ken Arok.
ROTAN-ROTAN menjulur, merambat dalam pola yang unik. Bergelombang dan berombak dalam tiga bagian besar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved