Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SELAIN kulineran, menonton konser, dan berolahraga, mengunjungi galeri seni kini juga semakin digemari warga Jakarta, dari gen X hingga keluarga muda. Sejurus dengan itu, keberadaan galeri seni di Ibu Kota memang kian subur.
Pada Juli tahun lalu Jakarta Art Hub diresmikan di lokasi yang semula merupakan Wisma Geha, terletak tak jauh dari Mal Sarinah, Jakarta Pusat. Sesuai namanya sebagai pusat seni, galeri-galeri seni, termasuk yang baru, bergabung ke tempat itu.
Salah satunya Vice & Virtue (V&V) Gallery yang didirikan Wilian Robin. Di gedung tersebut, V&V juga bersanding dengan galeri seni lain, seperti Kendys Gallery, Sewu Satu, Jagad Gallery, dan Rubanah Underground.
Baca juga : Perjalanan Eksplorasi para Seniman
Pendiri Art Jakarta dan IndoArtNow, Tom Tandio, mengungkapkan bahwa dalam tiga tahun ini memang kian banyak pencinta seni ingin membuka galeri. “Jadi memang menumbuh semua interest dari orang yang mau buka galeri ini. Tentu membuat pasar kita lebih gede. Saya melalui IndoArtNow membuat satu gedung lama yang ditransformasi jadi galeri, Jakarta Art Hub. Di situlah banyak galeri yang muda-muda muncul,” kata Tom saat dijumpai Media Indonesia di sela Art Jakarta 2024, Sabtu (5/10).
Wilian Robin, yang memulai membuka galerinya sendiri, V&V, sejak tahun lalu, mengutarakan bahwa langkah bisnisnya itu untuk mendukung ekosistem seni rupa di Indonesia. V&V ingin berfokus pada karya-karya seniman yang masih hidup dan yang baru memulai karier.
“Ada banyak seniman di Indonesia, tetapi mereka kekurangan panggung atau galeri. Di samping itu, galeri juga berfungsi sebagai perpanjangan tangan untuk proses koleksi dan transaksi,” katanya.
Baca juga : Pertunjukan Cahaya di Menara Filosofis
Bukan sekadar memberi panggung bagi seniman, pihaknya tetap menerapkan proses kurasi yang komprehensif. Wilian menuturkan, selain melihat jam terbang seniman, pihaknya juga melihat latar belakang akademis, pameran yang telah diikuti, orisinalitas karya, relevansi dengan isu-isu zaman sekarang, sampai jenis cat yang digunakan.
“Karena itu juga akan menentukan jika karyanya akan dikoleksi, sehingga dari sisi teknis juga perlu dipertimbangkan. Misal, kalau pakai cat yang asal, bukan cat untuk di kanvas kan beberapa tahun lagi itu bakal crack, itu tidak bisa dikoleksi,” jelas Wilian.
Seniman pemenang UOB Painting of The Year 2020, Prabu Perdana, menilai tumbuhnya galeri seni bukan hanya menguntungkan seniman. “Ada kesempatan untuk pameran bagi seniman, dan di sisi lain antusias masyarakat juga semakin meningkat terhadap apresiasi seni. Sementara kolektornya juga terus bertambah,” kata Prabu saat dihubungi Media Indonesia melalui telepon, Kamis (10/10).
Baca juga : Menyesapi Keseimbangan Hidup Asmat
Di Art Jakarta 2024, karya gigantik berdimensi 300 x 380 sentimeter milik Prabu berjudul Peace on Earth turut dipresentasikan oleh V&V. Karya itu menjadi salah satu yang mencolok di antara hamparan karya seni yang dipamerkan oleh sekitar 73 galeri selama tiga hari di JI Expo.
Diminati seniman luar
Baca juga : Galerist dan Kolektor Unjuk Gigi di Arise
Kehadiran galeri-galeri baru nyatanya juga menarik bagi seniman internasional. Gil Kuno, seniman yang berbasis di Tokyo, Jepang, memilih berpameran di Kendys Gallery.
Kuno berkunjung ke Jakarta pada Juli tahun ini. Kala itu pula ia berkunjung ke Jakarta Art Hub dan terkesan dengan koleksi di Kendys.
“Saya terkesan dengan karya-karya seni koleksi mereka. Sangat kontemporer dan mutakhir. Jadi, saya menghubungi galeri dan mengirimkan portofolio saya, dan mereka (Kendys) sangat menyukainya. Lalu saya diundang untuk ikut serta dalam pameran berikutnya,” terang Kuno.
Beberapa karya Kuno yang bisa dilihat di Kendys ialah karya yang memanfaatkan teknologi nano-magnet untuk menginterpretasi karya dari seniman Katsushika Hokusai yang terkenal, The Great Wave off Kanagawa (1831). Untuk menciptakan karya itu, Kuno mengambil video ombak di Yokohama yang juga menjadi inspirasi Hokusai.
“Kalau Anda perhatikan lebih dekat, Anda akan mendengarkan titik-titik yang bergerak. Anda dapat mendengar ombak. Tunggu sampai gelombang itu turun, dan kemudian Anda akan dapat mendengarnya. Saya memang suka membuat karya seni berbasis suara karena memang latar belakang saya musisi. Jadi, di karya-karya saya semacam ada pengalaman 4D,” terang Kuno tentang salah satu karyanya kepada Media Indonesia, Minggu (6/10), di Art Jakarta 2024, di JI Expo Kemayoran, Jakarta Pusat.
Pemilik Kendy Gallery, Denny Yustana, mengungkapkan pihaknya bukan hanya ingin memamerkan karya, melainkan juga bertutur kepada pengunjung. “Bagi beberapa seniman, tujuannya bukan konsep, tapi lebih ke storytelling. Kami ingin showcase sesuatu even if you don’t get to buy the art, even if you just viewing the catalogue and the story behind it, you still can get something out of it,” kata Denny kepada Media Indonesia, Minggu (6/10).
Sementara itu, Can’s Gallery menerapkan sistem periode kontrak kerja sama dengan seniman. Dengan begitu, galeri bukan semata membuat beberapa pameran, melainkan juga membuat program bersama untuk jangka panjang.
“Saya lebih suka bekerja sama dengan seniman yang punya keterikatan kerja supaya tujuannya itu sama-sama tercapai, daripada saya cuma menclok-menclok cari seniman yang tidak ada komitmen. Misalnya, oke saya representasi kamu untuk tiga tahun atau lima tahun, tapi di dalam situ kan kami ada kewajiban memberikan beberapa kali pameran tunggal, mengikutsertakan dalam beberapa kali pameran bersama, atau menampilkan karyanya di ruang publik seperti art fair,” kata pendiri Can’s Gallery, Inge Santoso.
Ramah kantong kelas menengah
Kehadiran galeri-galeri muda ini juga turut memperluas ceruk pasar seni ke kolektor pemula dan kelas menengah. Di galeri tersebut pengunjung bisa menemukan karya di bawah Rp5 jutaan.
“V&V rata-rata memang banyaknya (pasarnya) yang kelas atas. Tapi mulai ada sih kelas menengah, karena kami juga menjual karya yang di bawah Rp5 juta. Jadi yang muda-muda, kelas menengah pun bisa koleksi,” kata Wilian.
Denny menambahkan, kemunculan banyak galeri juga membuat seniman bisa mengeksplorasi medium berkarya. Jika dulu lebih berfokus pada produk karya seni murni, sekarang ini merambah ke mainan dan ilustrasi. Hal itu pun dilakukan seniman-seniman besar.
Tambahan lagi, Denny mengibaratkan kehadiran galeri baru seperti label rekaman yang menghindarkan monopoli di industri musik. “Seniman punya pilihan galeri seni mana yang lebih cocok dengan personal dan karya yang dibawa mereka. Bahkan dalam konteks kompetisi, kita juga bisa berkolaborasi seperti membantu penjualan seniman atau galeri lain. And at the end of the day sebagai galeri, kalau senimannya win, berarti kita win, juga berarti secara art industry as a whole itu when the community wins, everyone wins,” tukasnya. (M-1)
Pengembalian pusaka oleh kolektor perorangan juga dialami Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ratusan pusaka rampasan yang telah dikembalikan pemerintah Belanda bisa sekadar jadi benda mati jika pemerintah Indonesia tidak melanjutkan dengan riset menyeluruh.
Pameran Flaneur membawa pengunjung melintasi setiap zaman dan perkembangan dunia seni.
Dalam lukisan karyanya, Eddy berupaya menerjemahkan bagaimana bentuk isi otak Ken Arok.
ROTAN-ROTAN menjulur, merambat dalam pola yang unik. Bergelombang dan berombak dalam tiga bagian besar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved