Headline
Istana minta Polri jaga situasi kondusif.
Belakangan ini istilah playing victim makin populer di kalangan anak muda. Khususnya di dunia maya dan media sosial. Tak sedikit orang yang menggambarkan perilaku orang lain yang kurang mengenakkan dengan istilah playing victim. Istilah playing victim semakin populer salah satunya karena kesadaran akan kesehatan mental di kalangan masyarakat yang makin meningkat.
Playing victim memang lekat dengan sikap dan perilaku seseorang, yang umumnya tidak disukai. Pasalnya, orang yang playing victim percaya bahwa semua nasib buruk dalam hidup mereka disebabkan oleh orang lain.
Sebagai contoh, misalnya saja dalam kasus orang yang selingkuh. Dalam hal ini sebagian besar orang pasti setuju jika selingkuh adalah hal yang salah dan tidak pantas untuk dilakukan. Namun, orang manipulatif tidak akan pernah merasa bersalah meski telah kepergok melakukan hal tersebut.
Baca juga: Aktualisasi Diri: Pengertian, Tujuan, dan Cara Menerapkannya
Alih-alih merasa bersalah, seorang yang manipulatif justru melimpahkan kesalahan pada pasangannya yang telah menjadi korban sesungguhnya dalam hal ini. Biasanya, ketika kepergok telah melakukan hal yang salah, orang manipulatif akan mengatakan, "Aku begini gara-gara kamu juga."
Playing victim artinya bertindak seolah korban sebagai pembelaan diri, serta membuat korban yang sesungguhnya merasa bersalah. Playing victing dapat dilakukan seorang yang manipulatif, terutama ketika ketahuan telah melakukan kesalahan.
Baca juga: Sikap Bersyukur Terbukti Membantu Meredakan Stres
Untuk lebih memahami apa itu playing victim, berikut ulasan selengkapnya.
1. Pengertian Playing Victim
Melansir dari Public Library of Science, playing victim terjadi ketika seseorang melemparkan kesalahan kepada orang lain, meski kesalahan tersebut adalah perbuatannya sendiri. Pelaku playing victim biasanya dilakukan oleh orang yang tidak ingin bertanggung jawab karena sudah melakukan kesalahan tersebut.
Pada kondisi ini, pelakunya seakan memosisikan diri sebagai korban yang tidak mendapatkan keadilan. Singkatnya, playing victim adalah sebuah cara menghindari masalah yang diperbuat diri sendiri dengan melemparkan tanggung jawab kepada orang lain. Di saat yang sama, orang yang telah berbuat salah (pelaku) akan memosisikan diri sebagai korban.
Playing victim sering terjadi di dalam hubungan, pertemanan, keluarga, pekerjaan, hingga pernikahan. Dalam sebuah hubungan, sudah sepatutnya segala beban dan tanggung jawab dipikul bersama. Kalau ada salah satu yang playing victim, berarti dia melimpahkan beban dan tanggung jawab tersebut kepada pasangannya.
2. Ciri-ciri Orang Playing Victim
Salah satu ciri khas dari orang yang gemar playing victim adalah selalu merasa kasihan kepada diri sendiri. Mereka terus-menerus mengasihani diri mereka sendiri dan mencoba membuat orang lain merasakan hal yang sama. Mereka menganggap dunia ini kejam dan mereka terlalu lemah untuk mengubah apa pun tentangnya.
Mereka memproyeksikan emosi mereka ke seluruh dunia dan benar-benar percaya bahwa orang lain sama seperti mereka, tidak dapat dipercaya. Mereka juga umumnya tidak bisa berhenti membandingkan diri dengan orang lain dan merasa sakit hati ketika ada yang memberi saran.
Orang playing victim juga pesimistis dalam menghadapi berbagai hal dan menganggap semua masalah. Lebih parah lagi, mereka merasa bahwa hidup tidak pernah berpihak pada mereka. Mereka akan menganggao semua persoalan adalah kesalahan orang lain dan tidak mau ikut mencari solusi.
3. Penyebab Playing Victim
Terdapat berbagai hal yang bisa menyebabkan seseorang memiliki sikap playing victim. Di antaranya adalah trauma masa lalu. Trauma masa lalu kerap menjadi penyebab playing victim, karena membentuk pola pikir playing victim sebagai mekanisme penyelesaian dari trauma itu sendiri.
Selanjutnya adalah pengkhianatan kepercayaan, terutama pengkhianatan yang berulang, juga dapat membuat orang merasa seperti korban dan membuat mereka sulit untuk memercayai siapa pun.
Seseorang yang kodependen atau terlalu bergantung pada orang lain juga kerap menjadi pihak yang gemar playing victim. Mereka mungkin mengorbankan tujuan mereka untuk mendukung pasangannya. Akibatnya, mereka mungkin merasa frustrasi dan kesal karena tidak pernah mendapatkan apa yang mereka butuhkan, tanpa mengakui peran mereka sendiri dalam situasi tersebut.
Terakhir adalah manipulasi. Beberapa orang yang melakukan playing victim tampak senang menyalahkan orang lain atas masalah yang mereka timbulkan. Ia akan menyerang dan membuat orang lain merasa bersalah, atau memanipulasi orang lain untuk simpati dan perhatian.
(Z-9)
Penggunaan pacar AI di platform seperti Character.AI makin populer, tetapi pakar memperingatkan risikonya.
Cinta bukan hanya soal perasaan, tapi juga ilmiah. Pelajari efek hormon ini saat jatuh cinta dan patah hati.
Studi terbaru menunjukkan memelihara kucing dapat mengurangi stres, memperkuat kesehatan mental, serta memberikan efek positif bagi kesehatan fisik.
Konferensi internasional psikologi ulayat kali ini menjadi istimewa karena sekaligus memperingati 100 tahun kontribusi ilmiah psikolog ternama Albert Bandura.
Ingin minta maaf dengan tulus? Ini panduan minta maaf dari para ahli.
Dilansir dari The Atlantic, pareidolia merupakan fenomena psikologi saat setiap orang dapat melihat bentuk tertentu pada gambar biasa, namun persepsinya cenderung berbeda dengan orang lain.
Program pemberdayaan bagi sobat jiwa digelar demi menghilangkan stigma, memberikan pelatihan, dan membuka peluang kerja. Dampaknya sudah nyata.
RIA Ricis dikabarkan menjalani perawatan di Korea sebagai bentuk self reward. Ricis merasa bahagia dengan hasil yang ia dapat setelah menjalani perawatan. Ia tampak lebih glowing.
KESEHATAN mental sering menjadi bahan seminar, tetapi jarang menjadi agenda nyata di ruang-ruang rapat sekolah.
Studi terbaru menunjukkan memelihara kucing dapat mengurangi stres, memperkuat kesehatan mental, serta memberikan efek positif bagi kesehatan fisik.
Ilmuwan Tiongkok menemukan cara mengubah stem cell atau sel punca manusia menjadi sel otak penghasil dopamin.
Penting bagi keluarga maupun orangtua yang memiliki remaja bisa memahami perubahan perilaku remaja agar bisa mendeteksi dini jika anak mereka mengalami masalah kesehatan mental.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved