Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Ramah Lansia

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
30/5/2021 05:00
Ramah Lansia
Adiyanto Wartawan Media Indonesia.(MI/Ebet)

IBU saya yang berusia 72 tahun punya hobi mengisi teka-teki silang (TTS). Kebiasaan itu rutin beliau lakukan di akhir pekan. Kadang seluruh pertanyaan yang disusun mendatar dan menurun itu tidak dituntaskannya pada hari itu juga. Bisa dua hingga lima hari berikutnya. Sesekali beliau juga mengajak anak serta cucunya, tapi dengan syarat tidak boleh minta bantuan ‘mbah google’. Bagi ibu, itu ‘haram’ hukumnya. “Itu akan membuat kita malas berpikir. Kalau kamus tidak apa-apa, itu akan menambah kosa kata kalian,” begitu alasannya.

Ibu saya yang lansia tentu saja tergolong generasi lama (generasi old skul, kalau istilah anak sekarang), yang di masa remajanya belum mengenal teknologi smartphone. Generasi mereka merupakan generasi yang masih belajar menggunakan peta buta dan sempoa. Tidak mengherankan jika beliau masih hafal di mana letak Kota Bagan Siapi-api, misalnya, tanpa perlu menelusuri di mesin pencari. Bandingkan dengan anak zaman now yang sering gagap menyebut urutan sila yang menjadi dasar negara.

Zaman memang berbeda, tapi menurut saya kemampuan kognitif manusia tetap diperlukan selama mereka masih bernyawa. Kemampuan kognitif adalah sebuah kontruksi yang melibatkan otak, termasuk kemampuan untuk berpikir, mengingat, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Apa gunanya Tuhan membekali kita akal, jika semuanya belum apa-apa diserahkan pada algoritma komputer. Begitu keluar rumah, serahkan semua urusan pada Waze atau Google Map.

Di Jepang, para orangtua tetap dibiarkan berpikir dan bekerja. Seni origami, seni melipat kertas (biasanya menjadi bunga, burung-burungan, atau kura-kura), justru biasa dilakukan lansia, bukan balita. Karya mereka juga dihargai seperti karya seni lainnya. Dengan kata lain, mereka tetap dipandang sebagai mahkluk produktif, bukan barang antik yang cuma perlu dirawat. Otak mereka tetap dipergunakan, tidak diparkir atau dipensiunkan dini. Begitulah cara mereka memperlakukan lansia.

Di Indonesia, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik tahun 2020, jumlah lansia ada sekitar 26,82 juta jiwa atau 9,92% dari total populasi. Menurut PBB, Indonesia merupakan negara dengan jumlah lansia terbanyak ke-8 di dunia. Jumlah tersebut akan meningkat seiring dengan meningkatnya kualitas hidup masyarakat Indonesia. Permasalahan umum yang dialami para lansia ialah menurunnya tingkat kesehatan dan fungsi motorik. Hal ini lumrah seiring dengan bertambahnya usia mereka. Tentu butuh jaminan dan perlindungan kesehatan untuk mereka.

Selain itu, pemerintah juga perlu mempersiapkan warganya menghadapi proses penuaan dengan produktif. Hal lainnya ialah mengembangkan infrastruktur kota yang ramah terhadap lansia. Tapi, persoalan ini bukan semata tanggung jawab negara. Keluarga, sebagai lingkungan terdekat, justru berperan penting. Kota ramah lansia memang perlu, tapi keramahan kita selaku anggota keluarga justru jauh lebih krusial. Peringatan Hari Lansia pada 29 Mei kemarin yang bertema Lanjut usia bersama keluarga, kiranya harus jadi momentum untuk lebih memperhatikan mereka, terlebih di masa pandemi ini.

Selain percepatan pemberian vaksin, banyak hal lain yang juga bisa dilakukan seperti mengajak mereka dalam kegiatan berkebun, memasak, dan sebagainya. Bagi yang tinggal berjauhan, pemanfaatan teknologi bisa dilakukan dengan sering-sering mengajak berkomunikasi dan bersilaturahim secara virtual, agar mereka tidak merasa kesepian. Saya rasa itu lebih bermanfaat , daripada smaptphone cuma dipakai buat joget di Tiktok atau keseringan berswafoto di Instagram. Selamat Hari Lansia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya