Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Komersialisasi Tontonan

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
02/5/2021 05:00
Komersialisasi Tontonan
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

SELAMA bekerja dari rumah, saya jadi punya waktu luang untuk menonton pertandingan sepak bola kampung. Di lapangan yang rumputnya tumbuh ogah-ogahan itu, hampir setiap sore para pemuda desa antusias menekuni olahraga paling populer sejagat tersebut, termasuk selama Ramadan. Akhir pekan lalu, tim Kampung Serab, Depok, selaku tuan rumah, kedatangan tamunya dari Tambun, Bekasi. Saya mengetahui hal itu dari stiker yang tertera di mini bus dan angkot yang mengangkut para pemain dan segelintir suporter, termasuk sejumlah emak-emak, dari tim tersebut.

Laga itu lumayan menghibur, setidaknya bagi saya. Hitung-hitung sembari menunggu waktu berbuka puasa. Lagi pula kini saya malas menonton liga-liga Eropa setelah diberlakukannya sistem berbayar oleh beberapa penyedia layanan multiplatform TV kabel. Saya memang suka sepak bola, tapi tidak terlampau fanatik sampai harus rela mengeluarkan dana tambahan demi melihat aksi Mohamed Salah, Lionel Messi, dan kawan-kawan. Apalagi zaman sulit begini, ogah lah yaw. Terlalu komersial, menurut saya. Lagi pula, saya bisa lihat siaran ulang cuplikan pertandingannya di YouTube.

Nah, ngomong-ngomong soal komersialisasi sepak bola, saya jadi teringat wacana digelarnya Liga Super Eropa yang diapungkan Presiden Real Madrid Florentino Perez, beberapa pekan lalu. Bersama sejumlah klub superkaya Eropa, ia mengumumkan bakal hengkang dari Liga Champions musim depan. Sebagai gantinya, mereka akan menggelar Liga Super atau Super League. Formatnya antara lain meniru kompetisi olahraga di Amerika Serikat seperti Liga Bisbol (MBL) atau Liga Bola Basket (NBA) yang tidak mengenal promosi-degradasi.

Otak di balik rencana ini adalah JP Morgan, sebuah firma keuangan dan investasi global Amerika Serikat, yang berkongsi dengan Perez dan pemilik Juventus Andrea Agnelli. Mereka berdalih Liga Champions tidak lagi menarik dan cuma menguntungkan Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA). Namun, rencana kompetisi yang melibatkan sejumlah klub top dari Italia, Inggris, dan Spanyol itu mendapat reaksi keras suporter, terutama dari klub-klub Inggris.

Apalagi, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga mendesak FA (Asosiasi Sepak bola Inggris) agar melarang tim-tim di negaranya tampil di Liga Primer jika bergabung ke Liga Super. Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, Manchester United, dan Tottenham Hotspur, pun akhirnya batal bergabung. Ide atau rencana itu pun layu sebelum berkembang lantaran ditinggal sebagian besar calon kontestannya.

Namun, menurut Stefan Szymanski, ekonom yang menulis buku Soccernomics (2009) bersama jurnalis Simon Kuper, logika komersial yang mendasari ide atau konsep semacam ini, tidak akan pernah sirna. Dosen manajemen olahraga di Universitas Michigan dan telah menerbitkan penelitian tentang ekonomi sepak bola selama beberapa dekade itu menilai, secara bisnis ide untuk mengubah kompetisi di Eropa ini masuk akal, mengingat klub terbesar di benua itu sudah menjadi merek global dan sedang berjuang untuk pulih dari pandemi. Wajar jika mereka ingin mendapatkan kembali bagian yang lebih besar dari pendapatan hak siar.

"Ketika Anda berbicara tentang menciptakan lebih banyak pertandingan di antara klub-klub besar di Eropa, itu bukan tentang sistem, itu hanya tentang olahraga. Oleh karena itu, saya pikir logika komersial untuk menciptakan lebih banyak pertandingan (yang tentunya juga membawa pemasukan/pendapatan) ini tidak akan hilang," katanya seperti dikutip AFP, Sabtu (24/4).

Dari sudut pandang ilmu dagang, analisa Szymanski mungkin benar. Ujung-ujungnya memang duit. Olahraga yang dia maksud juga bukan seperti sepak bola yang sekadar jadi sarana rekreasi dan silaturahim antarwarga seperti di kampung saya, melainkan ‘sirkus tontonan’ yang telah menjadi bagian dari industri, yang dengan berbagai taktik dan strategi, goal (tujuan) utamanya tiada lain tiada bukan ialah ‘mengoyak’ kocek kita selaku penonton. Kini, tergantung bagaimana kepiawaian kita saja untuk menjaga agar dompet tidak terus-menerus kebobolan. Salam olahraga.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya