Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SELAMA bekerja dari rumah, saya jadi punya waktu luang untuk menonton pertandingan sepak bola kampung. Di lapangan yang rumputnya tumbuh ogah-ogahan itu, hampir setiap sore para pemuda desa antusias menekuni olahraga paling populer sejagat tersebut, termasuk selama Ramadan. Akhir pekan lalu, tim Kampung Serab, Depok, selaku tuan rumah, kedatangan tamunya dari Tambun, Bekasi. Saya mengetahui hal itu dari stiker yang tertera di mini bus dan angkot yang mengangkut para pemain dan segelintir suporter, termasuk sejumlah emak-emak, dari tim tersebut.
Laga itu lumayan menghibur, setidaknya bagi saya. Hitung-hitung sembari menunggu waktu berbuka puasa. Lagi pula kini saya malas menonton liga-liga Eropa setelah diberlakukannya sistem berbayar oleh beberapa penyedia layanan multiplatform TV kabel. Saya memang suka sepak bola, tapi tidak terlampau fanatik sampai harus rela mengeluarkan dana tambahan demi melihat aksi Mohamed Salah, Lionel Messi, dan kawan-kawan. Apalagi zaman sulit begini, ogah lah yaw. Terlalu komersial, menurut saya. Lagi pula, saya bisa lihat siaran ulang cuplikan pertandingannya di YouTube.
Nah, ngomong-ngomong soal komersialisasi sepak bola, saya jadi teringat wacana digelarnya Liga Super Eropa yang diapungkan Presiden Real Madrid Florentino Perez, beberapa pekan lalu. Bersama sejumlah klub superkaya Eropa, ia mengumumkan bakal hengkang dari Liga Champions musim depan. Sebagai gantinya, mereka akan menggelar Liga Super atau Super League. Formatnya antara lain meniru kompetisi olahraga di Amerika Serikat seperti Liga Bisbol (MBL) atau Liga Bola Basket (NBA) yang tidak mengenal promosi-degradasi.
Otak di balik rencana ini adalah JP Morgan, sebuah firma keuangan dan investasi global Amerika Serikat, yang berkongsi dengan Perez dan pemilik Juventus Andrea Agnelli. Mereka berdalih Liga Champions tidak lagi menarik dan cuma menguntungkan Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA). Namun, rencana kompetisi yang melibatkan sejumlah klub top dari Italia, Inggris, dan Spanyol itu mendapat reaksi keras suporter, terutama dari klub-klub Inggris.
Apalagi, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga mendesak FA (Asosiasi Sepak bola Inggris) agar melarang tim-tim di negaranya tampil di Liga Primer jika bergabung ke Liga Super. Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, Manchester United, dan Tottenham Hotspur, pun akhirnya batal bergabung. Ide atau rencana itu pun layu sebelum berkembang lantaran ditinggal sebagian besar calon kontestannya.
Namun, menurut Stefan Szymanski, ekonom yang menulis buku Soccernomics (2009) bersama jurnalis Simon Kuper, logika komersial yang mendasari ide atau konsep semacam ini, tidak akan pernah sirna. Dosen manajemen olahraga di Universitas Michigan dan telah menerbitkan penelitian tentang ekonomi sepak bola selama beberapa dekade itu menilai, secara bisnis ide untuk mengubah kompetisi di Eropa ini masuk akal, mengingat klub terbesar di benua itu sudah menjadi merek global dan sedang berjuang untuk pulih dari pandemi. Wajar jika mereka ingin mendapatkan kembali bagian yang lebih besar dari pendapatan hak siar.
"Ketika Anda berbicara tentang menciptakan lebih banyak pertandingan di antara klub-klub besar di Eropa, itu bukan tentang sistem, itu hanya tentang olahraga. Oleh karena itu, saya pikir logika komersial untuk menciptakan lebih banyak pertandingan (yang tentunya juga membawa pemasukan/pendapatan) ini tidak akan hilang," katanya seperti dikutip AFP, Sabtu (24/4).
Dari sudut pandang ilmu dagang, analisa Szymanski mungkin benar. Ujung-ujungnya memang duit. Olahraga yang dia maksud juga bukan seperti sepak bola yang sekadar jadi sarana rekreasi dan silaturahim antarwarga seperti di kampung saya, melainkan ‘sirkus tontonan’ yang telah menjadi bagian dari industri, yang dengan berbagai taktik dan strategi, goal (tujuan) utamanya tiada lain tiada bukan ialah ‘mengoyak’ kocek kita selaku penonton. Kini, tergantung bagaimana kepiawaian kita saja untuk menjaga agar dompet tidak terus-menerus kebobolan. Salam olahraga.
Saat Trent Alexander-Arnold didatangkan oleh Real Madrid, nomor yang tersedia adalah 12 dan 18, dan bek timnas Inggris itu memilihi nomor punggung 12.
Charalampos Kostoulas meneken kontrak selama lima tahun bersama Brighton and Hove Albion yang akan dimulai pada 1 Juli mendatang.
Matheus Cunha meneken kontrak selama lima tahun dengan opsi perpanjangan selama 12 bulan di Manchester United.
Thomas Frank didatangkan Tottenham Hotspur untuk menggantikan Ange Postecoglou, yang dipecat setelah dua musim membesut The Lilywhites.
Manchester City membawa total 27 nama untuk berlaga di Piala Dunia Antarklub 2025, termasuk beberapa nama baru.
Big Cola bersama Manchester City berkolaborasi bukan hanya untuk menggebrak srategis pasar di Asia Tenggara tapi juga di Indonesia.
Gali sejarah sepak bola! Temukan negara pelopornya, evolusi aturan, dan warisan mendunia olahraga terpopuler ini.
PELATIH Uruguay Marcelo Bielsa membela keterlibatan pemainnya dalam bentrokan dengan penggemar Kolombia setelah pertandingan semifinal Copa America di Stadion Bank of America.
Menjelang pertandingan UEFA EURO 2024, Hotel Ciputra Jakarta pun tak tertinggal dan ikut memeriahkan dengan penawaran paket menginap Goal-Getter Euro dengan harga Rp1.298.000 net/malam.
Timnas Indonesia U-23 menang dengan skor meyakinkan 4-1 atas Yordania U-23 di laga Grup A Piala Asia U-23 2024 Qatar pada Minggu (21/4) di stadion Abdullah bin Khalifa Stadium, Doha.
Selain Beckham, ucapan romantis juga disampaikan anak-anak Victoria di masing-masing akun Instagram mereka.
Gianni Infantino, Presiden FIFA, mengajak untuk bersama-sama melawan rasisme yang meluas dalam sepak bola internasional.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved