Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Siklus 24 Jam dalam Repertoar Plantasia

Fathurrozak
26/7/2020 19:03
Siklus 24 Jam dalam Repertoar Plantasia
Suasana konser Plantasia oleh duo Bottlesmoker, di Bandung, Sabtu (25/7).(Dok. Bottlesmoker)

Seseorang dengan motornya meluncur dari Soreang, Bandung Selatan untuk membawa monstera yang berukuran besar ke kawasan Setiabudhi, di Bandung Utara. Kedatangannya untuk mengikutsertakan sang tanaman dalam konser khusus untuk tanaman yang dilaksanakan Bottlesmoker, Konser Plantasia.

Konser Plantasia diikuti lebih dari 100 tanaman rumahan dari berbagai jenis dan ukuran. Dari 30 pemilik tanaman yang mengikutkan ‘peliharaan’ mereka, tidak diperkenankan berada di venue selama konser. Pukul 16:00 WIB, Konser Plantasia dimulai. Bukan tanpa alasan waktu ini dipilih duo Anggung ‘Angkuy’ Suherman dan Ryan ‘Nobie’ Adzani.

“Kita start jam 4 sore. Karena dari berbagai kajian yang kami baca, disebutkan juga tanaman itu baik menerima musik sebelum jam 10 pagi, dan setelah jam 3 sore. Karena sore itu bagus untuk tanaman, dia mulai bisa berproses. Dan ternyata secara enggak langsung, ketika dikumpulkan dalam satu tempat, dan kami menempatkan sesuai dengan seperti di konser pada berebut tempat, kami anggap mereka penonton. Jadi mereka berbaris, kami arahkan pada kami, ruangan itu hampir penuh dikelilingi tanaman dari berbagai ukuran,” ungkap Angkuy saat dihubungi Media Indonesia melalui sambungan telepon, sehari seusai konser, Minggu, (26/7).

Sebelum memulai konser ini, Angkuy dan Nobie memang rajin mengunjungi literatur ilmiah. Untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai eksperimen yang mereka lakukan. Sebagai musisi yang juga memiliki latar belakang pada kajian musik tradisi, Angkuy menceritakan komposisi musik yang disajikan disusun dari beberapa unsur. Angkuy menyebut, secara sederhananya ialah mengaplikasikan kajian barat dengan peradaban komposisi musik Indonesia.

“Ada beberapa elemen, dijelaskan dalam beberapa penelitian, genre musik paling bagus (untuk tanaman) itu klasik. Unsur instrumen string, juga bagus untuk tanaman, Juga harus memainkan melodi repetitif. Dan frekuensi berada di 5000 hertz. Harus tambahkan suara alam, hindari frekuensi rendah, hindari bunyi noise yang berkepanjangan, harus hindari kata-kata kasar atau teriak, marah-marah, karena ternyata tanaman memiliki sensitivitas emosi yang tinggi,” ungkap Angkuy dalam menjelaskan bangunan komposisi repertoarnya selama 90 menit yang terdiri dari 12 trek tersebut. Angkuy dan Nobie juga melacak hubungan musik tradisi dan kajian ilmiah. Karinding, Tarawangsa, pun menjadi bebunyian dalam repertoar itu. Sementara, untuk suara angin, air, burung, dan serangga seperti tonggeret juga direkam untuk dimasukkan dalam komposisi yang diramu Bottlesmoker.

“Ketika dikumpulkan semua, secara fisikal memang lebih dingin. Kalau secara non fisikal, moodnya jadi lebih berenergi di situ. Akhirnya selama pertunjukan 90 menit nonstop, kami  pun sambil berkomunikasi dengan cara apapun. Sampai ada hal menarik, ada kejadian si bunga saat datang itu sedang kuncup, dan mau merekah. Terus pas selesai dia setengah merekah. Ada juga yang bawa tanaman cabai rawit. Kami semua yang ada di venue tahu saat datang itu masih hijau. Terus tiba-tiba setelah pertunjukan jadi berubah oranye. Secara sadar enggak sadar, ada perubahan langsung. Beberapa tim video kami pun merekam beberapa gerakan, meski sangat kecil dari si tanaman,” cerita Angkuy mengenai pengalaman Konser Plantasia mereka.

Konser Plantasia lahir ketika duo musisi elektronik ini mencari ide untuk konser saat pandemi, tetapi tetap aman. Saat kabar salah satu gedung opera di Barcelona yang menggelar pertunjukan dengan penonton semuanya tanaman, kelompok musik asal Bandung ini pun lalu melakukan riset lebih jauh. Adapun nama Plantasia mereka ambil dari karya lawas musikus elektronik Mort Garson, album Mother Earth’s Plantasia. Plantasia ialah trek pertama dalam album itu. “Sekaligus ini jadi tribute. Karena di album itu juga menceritakan tanaman, dan musik yang didedikasikan untuk tanaman. Oleh karena itu kami merasa nama itu cocok untuk konser kita.”

“Repertoar yang kami buat semacam dimensi waktu dan tempat selama 24 jam yang kami rangkum dalam 90 menit. Misalnya menit pertama sampai menit kedua itu suara alam, dan tanaman akan merasakan sedang berada di alam. Pada menit ke 3-7 misalnya semangat untuk waktu pagi. Lalu misalnya siangnya hujan, kami ciptakan mood hujan, sampai ke sore ada suara tonggeret, sampai malam ada jangkrik," pungkasnya. (M-2) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya