Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Covid-19 Menggerakkan Banyak Inovasi

Fetry Wuryasti
05/7/2020 06:50
Covid-19 Menggerakkan Banyak Inovasi
Ilustrasi MI(Dok. Pusat Riset Bioteknologi Molekuler dan Bioinformatika Unapd.)

PANDEMI virus korona atau dikenal dengan sebutan covid-19 membebani seluruh negara, termasuk Indonesia.

Di kala keprihatinan ini, Koordinator Peneliti Rapid Test Covid-19 Unpad dari Fakultas MIPA Universitas Padjajaran, Muhammad Yusuf, melihat pada akhirnya hadir banyak gerakan inovasi terkait teknologi di dalam negeri untuk membantu ketersediaan alat penanganan kepada pasien positif.

Direktorat Riset Pengabdian kepada Masyarakat dan Inovasi (DRPMI) Universitas Padjajaran, Departemen Pusat Riset Bioteknologi Molekuler dan Bioinformatika, berhasil membuat alat tes cepat (rapid test) berbasis antigen untuk mendeteksi infeksi virus covid-19 bersama dua mitra industri.

Sebelumnya, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB berhasil memproduksi ventilator portabel Vent-I. Lalu ada Universitas Airlangga (UnAir) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam konsorsium riset Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga sedang mengerjakan pembuatan alat rapid test virus korona menggunakan antibodi imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin M (IgM) di dalam darah.

Hal itu mengingat selama selama pandemi terjadi, Indonesia masih harus mengimpor pendeteksi covid-19 berupa alat rapid test dan polymerase chain reaction (PCR), termasuk reagen dan swab stick-nya.

“Sekarang yang membuat rapid test lokal itu bukan hanya Universitas Padjajaran. Alhamdulillah sekarang banyak yang membuat, seperti Universitas Gajah Mada (UGM), lalu ada Universitas Airlangga. Kemarin, saya dengar Universitas Indonesia (UI) sudah ada yang bisa buat swab stick sendiri. Artinya, ketika sudah muncul gerakan inovasi, harapannya dengan kita bisa memproduksi sendiri, industrinya juga tumbuh,” jelas Yusuf saat dihubungi, Rabu (1/7).

Baginya, di samping keprihatinan terhadap wabah ini, juga patut disyukuri perihal banyak pihak-pihak yang bergerak dan berinovasi sebab ada banyak penyakit infeksi di Indonesia.

Namun, untuk penanganan penyakit infeksi bahkan dari aspek deteksinya saja, Indonesia masih harus mengimpor. Padahal, deteksi dan penanganan penyakit infeksi itu urgensi.

Dia mengibaratkan dengan makanan tempe dan tahu yang selama ini orang pikir itu makanan tradisional Indonesia, dimakan oleh mayoritas masyarakat sehari-hari bahkan masyarakat kecil sekalipun. Akan tetapi, kacang kedelainya justru impor. Padahal, seperti untuk penyakit infeksi, ada urgensi variasi genetik yang khas dari setiap virus. Dengan begitu, untuk deteksinya kita harus mengembangkan sendiri, apalagi virus yang mudah bermutasi.

Jadi, kalau misalnya alat deteksi virusnya impor dari suatu negara, sedangkan antigen atau zat yang merangsang respons imunitas untuk mencari penyebab penyakitnya itu berbeda di negara produsen dan di Indonesia, nanti dikhawatirkan alat tersebut tidak bisa dipakai.

“Contoh saja untuk yang selama ini kami deteksi, yaitu virus cikungunya. Virus cikungunya ada beberapa jenis. Kami selama ini impor untuk deteksinya itu dari Korea, misalnya. Ketika di Korea, dia mengembangkannya itu untuk antigen segi lima. Padahal, virus yang ada di kita bentuknya segi enam. Maka, alat itu tidak akan bisa dipakai,” kata Yusuf.

Oleh karena itu, menjadi urgensi kenapa Indonesia seharusnya bisa mengembangkan pendeteksi secara mandiri ketika banyak penyakit infeksi di negara ini dan kemudian ada isu keragaman genetik.

“Karena bisa jadi yang kita impor itu tidak akan terpakai karena bentuk antigennya juga berbeda,” jelas Yusuf. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya