Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
DALAM buku terbarunya, The Quickening, Elizabeth Rush, finalis Penghargaan Pulitzer, memaparkan sebuah ekspedisi ke Gletser Thwaites di Antartika. Buku ini tidak hanya menantang batas fisik juga membuka wawasan tentang perubahan iklim.
Buku ini menggambarkan perjalanan menegangkan ke Gletser Thwaites, sebuah lokasi yang dikenal sebagai “gletser kiamat”, karena dampak dramatisnya terhadap kenaikan permukaan laut.
Pada 2019, sebuah tim berisi 57 ilmuwan dan kru memulai ekspedisi selama 54 hari menuju gletser Thwaites. Terletak di ujung Laut Amundsen, Thwaites dikenal dengan pencairan esnya yang cepat, kehilangan hingga 80 miliar ton es setiap tahun, dan berkontribusi sebesar 4% pada kenaikan permukaan laut tahunan. Kondisi ini menjadikannya salah satu titik paling kritis dalam perang melawan perubahan iklim.
Baca juga : Es Antartika Mencair Hingga 70,8 Miliar Ton dalam Setahun
Namun, sebuah studi terbaru menunjukkan meskipun Thwaites terus mencair dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, kemungkinannya runtuh dalam waktu dekat mungkin tidak secepat yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini memberikan harapan bahwa dampak bencana global yang mungkin ditimbulkan masih bisa dihindari, meski ancamannya tetap ada.
Elizabeth Rush, yang dikenal lewat bukunya Rising tentang perubahan iklim, bergabung dalam misi ini melalui Program Seniman & Penulis Antartika. Dilansir dari BBC Travel, Elizabeth Rush menjelaskan perjalanan ini memberinya perspektif baru tentang dunia dan etika eksplorasi di ekosistem yang sangat rapuh.
Di manakah letak Gletser Thwaites? Bagaimana Rush mengetahui tentang misi eksplorasi ini untuk pertama kalinya?
Baca juga : Potensi Megatsunami Meningkat : Pencairan Gletser Sebabkan Tanah Longsor.
Gletser Thwaites, terletak di ujung Laut Amundsen di Antartika, adalah lokasi misterius yang memerlukan perjalanan empat hari untuk mencapai pangkalan penelitian terdekat. Eliszabeth Rush menjelaskan ketika dia melamar bergabung dalam misi ini melalui Program Seniman & Penulis Antartika, petugas program menyebutkan betapa sulitnya memberikan bantuan di lokasi ini dibandingkan dengan stasiun luar angkasa.
Gletser ini sedang mengalami keruntuhan cepat, namun belum ada yang pernah menjelajahi tepinya. Dengan aplikasi setebal 60 halaman, Rush berhasil mendapatkan tempat terakhir di kapal pemecah es untuk ekspedisi ini.
Lebih dari dua abad lalu, manusia pertama kali melihat benua ini. Antartika adalah tempat yang sangat megah hingga selama sebagian besar sejarah, manusia terjaga dari kehadirannya.
Baca juga : Pengertian Benua dan Awal Mula serta Perbedaan Jumlahnya
Berbeda dengan setiap sudut lain di planet ini yang memiliki cerita panjang tentang penduduk asli, Antartika adalah satu-satunya tempat yang tidak memiliki kisah-kisah semacam itu. Oleh karena itu, mengunjungi tempat ini memerlukan rasa hormat dan pemahaman mendalam akan kekhasan dan keajaibannya.
Jika Anda berencana ke sana, ingatlah betapa langkanya kesempatan ini dan betapa istimewa Antartika sebagai tujuan Anda.
Rush menceritakan bagaimana penjelajahan ke Thwaites memberikan dampak mendalam terhadap pandangannya tentang lingkungan dan kemanusiaan. “Gletser Thwaites adalah tempat yang sangat misterius dan berbahaya,” katanya. “Ini adalah pengalaman yang menuntut kita untuk berpikir lebih dalam tentang apa yang berarti menjaga planet ini.”
Baca juga : Gunung Es A23a Terjebak dalam Kolom Taylor
Selama ekspedisi, Rush dan tim menyaksikan perubahan yang dramatis pada gletser, dengan proses pencairan yang seolah berlangsung di depan mata mereka. Rush menggambarkan momen ketika gletser mulai pecah sebagai pengalaman yang sangat mengejutkan, hampir mirip dengan sesuatu yang ada di dalam kisah fiksi ilmiah.
Dalam diskusinya tentang etika eksplorasi, Rush menekankan mengunjungi tempat-tempat yang sangat terpencil dan rapuh harus dilakukan dengan rasa hormat dan kesadaran yang mendalam. Dia berpendapat pariwisata kasual di lokasi seperti Antartika tidak selalu bermanfaat dan bisa merusak, meski menyaksikan keindahan dan keunikan tempat-tempat tersebut bisa memotivasi tindakan pelestarian.
Rush juga merenungkan bagaimana pengalaman ini mengubah pandangannya tentang masa depan dan kemanusiaan. Menurutnya, perjalanan ini menunjukkan betapa saling terhubungnya ekosistem global dan pentingnya peran kita dalam menjaga keseimbangan planet ini.
“Kita harus lebih sadar akan dampak tindakan kita,” ungkapnya. “Apa yang terjadi di Antartika tidak hanya terbatas di sana ia mempengaruhi seluruh sistem iklim global.”
Rush mengungkapkan optimisme meski kondisi saat ini tidak mudah. “Memiliki anak adalah bentuk harapan saya untuk masa depan,” tuturnya. “Dan meskipun saya sadar tantangan besar yang akan dihadapi generasi mendatang, saya berkomitmen untuk berkontribusi secara positif dan memastikan anak saya tumbuh dalam dunia yang lebih baik.”
Buku The Quickening oleh Elizabeth Rush bukan hanya sekadar catatan perjalanan ke Gletser Thwaites, tetapi sebuah refleksi mendalam tentang perubahan iklim dan tanggung jawab kita terhadap lingkungan. Dengan setiap halaman, Rush membawa kita lebih dekat ke pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana kita dapat menjaga planet ini untuk generasi mendatang. (Z-3)
Okjökull, gletser di Islandia yang dulunya menutupi 39 km², secara resmi dinyatakan mati pada tahun 2014 karena esnya terlalu tipis untuk bergerak.
Penelitian terbaru menggunakan model komputer untuk memprediksi aliran air di bawah lapisan es Antartika, yang mempengaruhi pergerakan gletser menuju samudra.
Tahukah Anda bahwa gletser raksasa pernah menutupi hampir seluruh permukaan Bumi, bahkan hingga mencapai khatulistiwa?
Sebuah satelit NASA menangkap gambar fenomena atmosfer langka di atas Gletser Pine Island di Antartika, yang tampak seperti gletser yang "berasap."
Berdasarkan penelitian terbaru, Es Antartika mengalami penurunan yang sangat besar pada musim panas ini dan kemungkinan mencair hingga tingkat minimumnya
September 2023, gletser yang mencair di Greenland memicu longsor besar berakibat mega-tsunami setinggi 650 kaki, diikuti dengan getaran misterius yang berlangsung selama 9 hari.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved