Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
MENGGUNAKAN Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST), para ilmuwan berhasil menyingkap peran utama galaksi bermassa rendah dalam proses reionisasi awal semesta. Temuan ini mengusik teori evolusi kosmik yang sudah ada sebelumnya.
Tim peneliti yang memanfaatkan data JWST untuk pertama kalinya mampu mendapatkan spektrum penuh dari beberapa cahaya bintang paling awal di alam semesta. Pandangan ini lebih jelas terhadap galaksi-galaksi kecil yang terbentuk dalam rentang waktu kurang dari satu miliar tahun setelah Big Bang, memperkuat gagasan galaksi-galaksi ini merupakan inti dari asal mula kosmik kita.
Dalam sebuah studi yang diterbitkan tim internasional di jurnal Nature, dua astrofisikawan dari Penn State ikut berkontribusi dalam temuan spektrum yang mengungkap pancaran cahaya pertama dari periode reionisasi, yaitu masa ketika bintang dan galaksi pertama mulai menerangi alam semesta.
Awalnya, materi di alam semesta berada dalam bentuk kabut padat dan panas yang terdiri dari inti hidrogen dan helium. Seiring alam semesta berkembang dan suhunya menurun, proton dan elektron bergabung, membentuk hidrogen netral untuk pertama kalinya.
Kemudian, sekitar 500 hingga 900 juta tahun pasca-Big Bang, hidrogen netral ini mulai terpecah lagi menjadi gas terionisasi, memicu kelahiran bintang dan galaksi yang pada akhirnya mengusir kabut purba tersebut, memungkinkan cahaya menyebar tanpa hambatan di kosmos untuk pertama kalinya.
"Sesuatu menyala dan mulai memompa foton berenergi sangat tinggi ke dalam ruang hampa antargalaksi, objek-objek ini, seperti mercusuar kosmik, berhasil ‘membakar’ kabut hidrogen netral. Apa pun sumber energinya, dampaknya sangat besar dan konsisten, sehingga seluruh alam semesta akhirnya terionisasi kembali." ujar Leja Joel Leja, seorang asisten profesor astronomi dan astrofisika dari Penn State.
Dengan mempelajari spektrum galaksi bermassa rendah, ilmuwan menemukan bahwa galaksi kecil mungkin adalah kandidat utama yang "menyalakan" proses reionisasi. Dengan memanaskan gas padat primordial di sekitarnya dan mengionisasi hidrogen yang semula netral.
"Bintang-bintang energik di dalam galaksi-galaksi kecil inilah yang bertindak sebagai penerang," ungkap Leja.
Sebagian besar galaksi di awal alam semesta diyakini berukuran relatif kecil, sehingga untuk mengamati frekuensi dan karakteristiknya bukanlah hal yang mudah. Berkat kemampuan canggih JWST yang didukung efek lensa gravitasi dari gugus Abell 2744 yang memperbesar cahaya dari galaksi-galaksi jauh — para ilmuwan kini dapat memperkirakan jumlah galaksi kecil serta sifat-sifat pengionnya dalam miliaran tahun pertama sejarah kosmos.
Hakim Atek, astrofisikawan dari Universitas Sorbonne menemukan bahwa selama periode reionisasi ini, galaksi kecil jumlahnya seratus kali lebih banyak daripada galaksi besar
"Hasil pengamatan ini juga menunjukkan bahwa galaksi-galaksi kecil tersebut menghasilkan jumlah foton pengion yang sangat besar, melebihi empat kali nilai yang biasa diasumsikan bagi galaksi-galaksi jauh. Artinya, fluks foton pengion yang dipancarkan oleh galaksi ini jauh melampaui batas yang dibutuhkan untuk reionisasi," sambungnya dikutip dari laman Scitech Daily pada rabu (13/11).
Selain itu, dalam proyek survei UNCOVER, tim dari Penn State memimpin pemodelan gugus galaksi yang dapat memperbesar galaksi yang lebih kecil dan jauh di belakangnya. Para peneliti menganalisis setiap titik cahaya dalam survei ini untuk menentukan sifat-sifatnya, massa, dan jaraknya. Hasil analisis ini digunakan untuk memandu pengamatan JWST lebih lanjut yang mendukung penemuan penting ini.
Sebelum penelitian ini, sejumlah hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan sumber energi dalam proses reionisasi, seperti lubang hitam supermasif. Hipotesis lain yaitu galaksi besar dengan massa lebih dari satu miliar kali massa matahari, serta galaksi kecil yang massanya kurang dari satu miliar kali massa matahari.
Namun, bukti galaksi bermassa rendah memainkan peran sentral dalam reionisasi masih sulit didapat karena luminositasnya yang rendah. Temuan baru ini memberikan bukti paling jelas bahwa galaksi bermassa rendah memang berperan besar dalam proses ini.
Ini adalah bukti terbaik sejauh ini untuk gaya di balik reionisasi, tetapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Para peneliti mengamati satu bidang kecil langit; mereka perlu memastikan bahwa sampel mereka bukan sekadar gugusan galaksi kerdil yang tidak normal, tetapi merupakan sampel representatif dari seluruh populasi di fajar kosmik. (Scitech Daily/Science Alert/Z-3)
Astronom mengamati peristiwa langka AT2024tvd, saat lubang hitam supermasif di luar pusat galaksi menghancurkan bintang.
Observatorium Sinar-X Chandra NASA mendeteksi retakan pada filamen pusat galaksi yang dijuluki “Si Ular”.
Penemuan ini dicapai dengan bantuan Teleskop Subaru dan teknik lensa gravitasi. Teknik ini bekerja ketika cahaya dari objek yang jauh dibelokkan oleh medan gravitasi dari objek masif
Astrofisikawan Ethan Nadler dari University of California, meneliti kemungkinan halo materi gelap "gelap", yaitu gumpalan materi gelap yang tidak pernah membentuk bintang.
Lubang hitam supermasif yang sebelumnya tidak aktif di pusat galaksi SDSS1335+0728, mendadak menjadi aktif dengan semburan sinar-X luar biasa kuat dan panjang.
Tim peneliti dari Universitas Warwick menemukan sepasang bintang katai putih yang langka dan padat, yang diprediksi akan bertabrakan dalam 23 miliar tahun.
Ilmuwan asal Amerika Serikat dan Jepang berpacu mencari jawaban mengapa alam semesta kita ada?
Penelitian terbaru dari Radboud University, Belanda, mengungkap bahwa akhir alam semesta bisa terjadi jauh lebih cepat dari yang selama ini diperkirakan.
Dua temuan astrofisika terbaru telah mengguncang dasar pemahaman kita tentang struktur dan evolusi alam semesta: struktur misterius di luar Bima Sakti serta gelombang kejut raksasa
Penelitian terbaru mengungkap bahwa energi gelap—kekuatan misterius yang selama ini diyakini mempercepat perluasan alam semesta—mungkin tidak bersifat konstan
Teleskop Kosmologi Atacama (ACT) berhasil menangkap citra paling presisi dari latar belakang gelombang mikro kosmik (CMB), yang merupakan cahaya fosil pertama alam semesta.
SPHEREx akan memetakan seluruh langit dalam bentuk 3D setiap enam bulan, sehingga melengkapi pengamatan yang dilakukan oleh teleskop luar angkasa lainnya seperti James Webb dan Hubble.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved