Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Dia terduduk di sudut pembaringan. Matanya menatap ke depan. Pada sebuah cermin yang mulai memburam. Di dahinya yang keriput tergambar jalan panjang membentang–kelelahan. Ia teringat istrinya yang 2 tahun lalu meninggal dunia. Matanya terpejam ingin menepis ingatan atau sekadar menyiasati air mata untuk tak menggetarkan jendela hatinya
Ia pun teringat anak semata wayangnya. Dulu ia pernah melepasnya ke kota. Ia lupa nama kotanya. Yang ia ingat, kota itu berdiri dari ribuan sayap mimpi dan pondasi gedung-gedungnya terbuat dari tulang-tulang manusia. Ia pun teringat pada tawa gemas cucunya saat lebaran kemarin datang menyeruak dalam dekapannya. Ia lupa nama cucunya mungkin cucunya pun melupakan namanya.
Ia bertanya pada sebuah kalender yang hampir setahun tertancap di dinding ruang baca. Kalender itu tampak kumal karena sering dibolak-balik kenangan juga kerinduan. Kenangan itu seolah berkumpul dalam dekapannya. Istri, anak, cucunya. Ia bertanya; “Hari ini tanggal berapa? Apakah ini hari libur?” Tangannya terjulur, menyentuh daun jendela, ia pelan-pelan membukanya–tak ada siapa-siapa.
Desember, 2023
Kamboja mekar; menggurat sebuah peta. Pada langit abu-abu di kelopaknya. Sedangkan di mataku; setitik embun dipelukkan dunia. Dia baru menetas dari ribuan luka.
Bayang-bayang sembunyi; di antara jari-jari telapak kaki. Memberikan kehampaan, saat langkah berlari menjala matahari. Namun tiba-tiba langkah itu terperangkap; gelap!
Ada titik di ujung puisi, yang ingin kutulis di sudut alisnya. Sebelum dia menangis dan merentangkan tangannya. Mungkin sesaat dia diam. Atau tengah meraba masa depan. Pada hangat waktu; dadaku
Lalu sungai menderas, mengalir sendiri membentur-bentur bebatuan. Saat dia bersorak pada hujan. Langit basah meniupkan kesepian. Serupa puisi yang kubuat untuk ibunya. Menarilah Nak! Menarilah! Sebelum hujan tak meninggalkan apa-apa selain kenangan! Fana!
Desember, 2023
Engkau pasti tak bisa berbuat apa-apa, Nak! Selain mengepalkan tanganmu dan meninju perut ibumu. Kamu ingin memuntahkan seribu sayap kupu-kupu di mulutnya. Dan mencakar wajah ayahmu. Mungkin karena engkau tahu rembulan selalu menyembunyikan tubuh-tubuh yang gosong terbakar matahari di selimutnya. Tak ada keindahan yang kekal selain bau keringat dan mayat. Tapi doa-doa kami selalu meronta memanggilmu mengatas-namakan Tuhan. Engkau ingin berlari; sembunyi, tapi cinta menyeretmu, dan mencukil sebagian tubuh kami untuk ditanam ke dalam jantungmu.
Detak itu 9 bulan mengerang memanggil-manggil Tuhan. Maafkan aku, Nak. Ketika kukalungkan rindu di rahim ibumu. Engkaulah jelma kata “kun” itu.
Desember, 2023
"Kamu ingin memuntahkan seribu sayap kupu-kupu di mulutnya dan mencakar wajah ayahmu."
Kau akan ingat aku; ingat ibumu. Ketika matamu terbuka, tiba-tiba daun jatuh. Dan kautengadahkan kepalamu mencari bekas-bekas hujan dari balik mataku atau mata ibumu.
Tapi kau–sendiri. Menyusup pada kenangan. Menerangi bayanganmu yang sejak semalam sembunyi. Dan kausaksikan musim berganti. Tapi kau–sendiri. Menyusup pada kenangan. Matamu tak tahan; bergetar berselaput air mata, memandang potret kita.
Dinding semakin dingin dan sunyi. Diam-diam mengutuk sebuah perjumpaan. Yang akhirnya menggulung sampai ujung jalan.
Desember, 2023
Tak perlu kau bayangkan akhir jalan itu. Kau hanya butuh berjalan. Ketika dongeng di dadamu telah Dia tuliskan. Kausepakat untuk tinggal sejenak, lalu mendengar suit dari seberang. Menerobos telingamu. Dan nyeri itu menjalar sampai napasmu sengal. Dan kaubetulkan letak syal pemberianku di lehermu (dulu saat engkau masih bayi; ketika engkau sakit, ibumu dan aku bergantian memelukmu, membayangkan demam itu seperti sayap malaikat memeluk kita sangat dekat).
Tapi waktu yang berdetak di dada kami pasti akan berhenti. Memilin rambut-rambut kami untuk jatuh ke bumi. Dan tubuh-tubuh ini akan mengering seperti daun yang terbakar matahari. Meninggalkanmu berjalan sendiri. Tak perlu aku catat sebuah alamat; toh belum tentu itu sama seperti dalam pikiranmu. Aku tak ingin patah sayapmu lalu ambruk sebelum kaumemenuhi sebuah janji. Dia akan menunggumu; jangan tergesa! Berjalanlah karena cinta. Kita pasti merindukanmu pula.
Desember, 2023
Baca juga: Puisi-puisi Uhan Subhan
Baca juga: Puisi-puisi Eddy Pranata
Baca juga: Puisi-puisi Osip Mandelstam
Ngadi Nugroho, pemuisi, lahir di Semarang, Jawa Tengah. Puisi-puisinya tayang di sejumlah media daring, koran, dan majalah. Juga termuat dalam beberapa buku antologi puisi bersama. Sehari-hari beraktivitas di Kaliwungu. Ilustrasi header: Maria Oksentiivna Prymachenko, pelukis Ukraina (1909-1997), Hewan Liar di Taman yang Bermekaran, cat minyak pada kanvas, diperkiraan tahun pembuatannya pada 1987. Koleksi Museum Kebudayaan Lokal Ivankovsky, Kiev. (SK-1)
Kata 'kofe' sendiri berarti kondisi awal gigi balita yang tumbuh pertama kalinya. Ia kemudian goyang dan jatuh sehingga terlihat ompong.
Kulit putih, bulu mata lentik. Kata orang itu cantik. Menurutku kita lebih manis.
Petersburg, aku kan kembali bersama belahan jiwa. Mengulang janji suci kami di altar dulu
Kebebasan pun beterbangan di mana-mana serupa tarian angsa.
Mungkin aku yang terlalu ingin melindungimu, namun membuatmu merasa tidak nyaman.
Saat bibir-mu terbuka sedikit, amboi, betapa itu membuatku kasmaran.
Aku menyeberangi batas pantai di antara kebajikan dan kejahatan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved