Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Ilustrasi: Idris Brandy
Aku mencium lelehan darah di rerumputan. Serigala liar mencabik-cabik seribu satu kemuraman. Pelayaran kapankah usai? Matahari sembunyi menyimpan birahi waktu.
Kasihku, jalan itu seperti sepenggal kain beludru. Terbentang dari ufuk barat merayap ke ufuk timur. Dan aku kehilangan peta itu. Yang pernah kau gambar dikerut keningku.
Kaliwungu, 2022
Lamat-lamat aku mendengar suara mendung. Di antara dua matamu. Menjadi samudra yang hitam menggambar wajah-wajah murung. Ratapan camar menggelepar menanam beku. Saat hujan berhenti, baru aku mengerti. Air itu bukan gerimis. Sorga lindap menjelma tangis. Walaupun di balik punggungmu aku sembunyi.
Gemeretak rahang menahan sakit. Matamu nanar menahan peluru nyasar ke dada. Pekik malam membelah nyala lampu. Cahaya jatuh telentang tertikam sembilu. Kau cium dalam gelinjang luka. Menyembunyikannya di sela-sela pucuk perdu. Seribu kisah mekar di bawah purnama.
Kaliwungu, 2022
Kutekuri malam menyalib segala lolong. Menyusuri sunyi di antara dengkur kupu-kupu. Derit roda becak tua mengunyah kelu. Memecah hening membakar sekarung isi kepalaku yang kosong.
Di jalan aku berbicara dengan sunyi. Meremukkan sepotong daging yang mati. Di purnama angin menggigil menahan dingin. Aku masih terduduk di tengah roda becak yang melaju.
Mengukur jarak surga, antara aku dan tukang becak di belakang. Mungkin, dia yang lebih dulu melaju ke sana dengan becaknya.
Kaliwungu, 2022
Dia masih berjalan bersandar bayang. Saat purnama muak mengintai langkah-langkah kaki. Dingin menembus sela kancing baju. Menggerogoti dada yang pingsan oleh kerling wanita binal di ujung gapura.
Geliat ketakutanmu ledakkan doa. Di ujung lain, daun-daun runtuh bersama bunga. Selembar uang terbang ditangkap angin menjelma rintih. Malam tak bicara sepatah kata. Kesunyian menyisakan perih.
Kaliwungu, 2022
Kemarin
Rindu itu masih ada. Saat kau kecup keningku. Dan kau tinggalkan secuil bekas kecupan di leherku. Di lubang rindu itu ada ribuan belatung menunggu kematianku.
Kemarin
Rindu itu masih tersisa. Berpakaian merah jambu. Mondar-mandir di pelataran rumahmu. Saat di celah lubang pintu masih kau gantungkan kunci rumahmu. Dan aku bisa setiap waktu membukanya.
Kemarin
Rindu itu tiba-tiba tanpa baju. Kehujanan di depan pintu rumahmu. Menahan gigil. Tergeletak seperti mayat. Dikerubuti ratusan lalat. Mengisahkan dongeng-dongeng menunggu hujan reda. Namun sekarang, pintu itu tak bisa kubuka. Mungkin kau sudah tak ada lagi di sana. Hingga aku tergeletak seperti mayat di depan pintu rumahmu. Kehujanan telanjang tanpa baju.
Kaliwungu, 2022
Jendela basah. Daun-daun rebah. Tangismu pecah. Di rumah pembaringan gelisah. Di atas genting suara tik tik hujan membentur dadamu. Mengiringi tangis itu.
Jam sembilan malam hujan belum reda. Menekuri makanan di atas meja. Hingga mata sesayu rembulan; pecah berantakan dan yang ditunggu asyik bermain hujan. Lupa pulang.
Kaliwungu, 2022
Tubuh pecah. Dadaku membuncah-buncah. Gemuruh pesanmu menghantam karang. Karang di hati yang bisu. Seperti sajian makanan di atas meja. Menunggu disantap tuannya.
Telinga seperti suara genderang. Beberapa pekik hadir berpakaian jalang. Kutangkap menjadi merpati. Berhamburan di atas kepala, keluhmu terbang menuju bulan. Bertengger di awan.
Kaliwungu, 2022
Baca juga: Sajak-sajak Remy Sylado
Baca juga: Sajak-sajak Dody Kristianto
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Ngadi Nugroho, penyair, lahir di Semarang, Jawa Tengah, 28 Juni 1978. Karya-karyanya masuk dalam sejumlah antologi, antara lain Pujangga Facebook Indonesia, Progo7, Dunia: Penyair Mencatat Ingatan, dan Lampion Merah Dadu. Karya-karyanya telah dipublikasi di sejumlah media lokal dan regional. Kini, bergiat dan beraktifitas bolak-balik Kaliwungu-Semarang. (SK-1)
Kulit putih, bulu mata lentik. Kata orang itu cantik. Menurutku kita lebih manis.
Aku menyeberangi batas pantai di antara kebajikan dan kejahatan.
Petersburg, aku kan kembali bersama belahan jiwa. Mengulang janji suci kami di altar dulu
Kebebasan pun beterbangan di mana-mana serupa tarian angsa.
Ayah-ibu, doakanlah anakmu agar menemukan tanah lapang di seberang.
Aku mencari irama nan syahdu serupa tangisan sasando di tanah kelahiran.
Pahit kopi adalah sebuah etika sedangkan tertawa hanyalah sejumput metafisika.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved