Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PAKAR hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Nanik Prasetyoningsih mengatakan revisi Undang-Undang No.34/2004 tentang TNI mencadukkan ranah sipil dan militer sehingga dapat membahayakan iklim demokrasi. Ia menyarankan koalisi masyarakat sipil mengajukan permohonan pengujian undang-undang atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Nanik menyampaikan, jika dominasi militer menguat, hal itu akan memperlemah struktur pemerintahan sipil. Hal itu akan berujung kepada semakin terabaikannya supremasi sipil sebagai sistem kontrol masyarakat terhadap militer.
"Dampaknya, akan terbentuk gaya pemerintahan yang militeristik (bergaya militer)," kata dia.
Pemerintahan yang militeristik ini tidak sesuai dengan spirit demokrasi karena akan semakin membatasi keterlibatan masyarakat dalam menentukan kebijakan. Padahal, demokrasi yang ideal adalah yang dibangun dari bawah ke ata.
"Pemerintah menjalankan mandat dan masyarakat yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah,” lanju Nanik.
Dosen Ilmu Hukum UMY ini juga menilai akan muncul kegaduhan akibat dari tumpang tindihnya tugas dan fungsi TNI dengan lembaga terkait di bidang tertentu, termasuk dengan Polri dalam keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Dengan diperluasnya lingkup Operasi Militer Selain Perang, TNI dapat terlibat dalam penegakan hukum di ranah tertentu seperti penanggulangan narkoba dan kejahatan siber.
Nanik khawatir, risiko penyalahgunaan wewenang dari kekuatan militer dalam tugas-tugas sipil akan muncul.
Dengan telah disahkannya RUU TNI, jalan keluar paling damai yang menurut Nanik masih dapat dilakukan adalah dengan judicial review terhadap isi dari pasal-pasal yang terkandung dalam RUU TNI. Ia juga mengingatkan bahwa sekontroversial apapun proses pembahasan, pembentukan dan substansinya, RUU TNI telah disahkan sebagai produk hukum yang legal dan mengikat.
Menurut dia, kita tidak perlu menunggu hingga undang-undang tersebut melanggar hak-hak dari sipil untuk mengajukan judicial review. Selama terdapat potensi pelanggaran hak-hak tersebut secara konstitusional, seperti dengan adanya perluasan Operasi Militer Selain Perang, hal itu sudah cukup untuk mengajukan pengujian RUU TNI ke MK.
"Siapapun, termasuk masyarakat, dapat melakukan permohonan judicial review,” tegas Nanik.
Ia pun berharap, judicial review dapat menjadi jawaban atas ketidakpuasan masyarakat terhadap RUU TNI yang dibahas secara tertutup dan dari segi formil dianggap tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Nanik dalam kesempatan itu juga menyayangkan adanya silent operation dari DPR dalam meloloskan RUU TNI, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya melalui beberapa undang-undang, seperti UU Ciptaker dan IKN. (H-4)
Images
ENAM mahasiswa asal Batam mengajukan gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
WAKIL Ketua DPR RI Saan Mustopa menghormati jika ada kelompok masyarakat yang menggugat UU TNI yang baru disahkan DPR, beberapa hari lalu ke Mahkamah Konstitusi
sivitas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mempersiapkan tim untuk menggugat atau melakukan judicial review UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK).
UU TNI digugat ke MK oleh Mhd Halkis. Alasan Halkis menggugat beleid tersebut karena menilai mengekang hak-hak prajurit.
Permohonan uji materi dengan Nomor Registrasi 41/PAN.ONLINE/2025 ini menyoroti batasan hak prajurit dalam berpolitik, berbisnis, dan menduduki jabatan sipil.
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Dengan penjelasan dari MK tersebut, menurut dia, DPR dan Pemerintah tidak akan salah dan keliru ketika merumuskan undang-undang tentang kepemiluan.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) belum kunjung memutuskan perkara uji formil UU No 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE (UU KSDAHE).
GURU Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Umbu Rauta menanggapi berbagai tanggapan terhadap putusan MK tentang pemisahan Pemilu.
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari merespons sejumlah partai politik yang bereaksi cukup keras terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan Pemilu.
Memperpanjang masa jabatan kepala daerah adalah langkah paling realistis agar transisi ke sistem pemilu terpisah berjalan tanpa gejolak.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved