Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
LANGKAH Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merevisi Peraturan DPR Nomor 1/2020 tentang Tata Tertib atau Tatib dinilai sangat janggal dan aneh. Lewat revisi tersebut, DPR kini dapat mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang dipilih melalui proses uji kepatutan dan kelayakan alias fit and proper test di parlemen, termasuk hakim konstitusi.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menduga motif di balik revisi Peraturan DPR tersebut adalah untuk melemahkan lembaga-lembaga tertentu, terutama Mahkamah Konstitusi (MK). "Motifnya mungkin menekan lembaga-lembaga tertentu, terutama MK, dan itu tentu cara permainan politik paling tidak sehat yang dimainkan oleh DPR saat ini," ujar Feri kepada Media Indonesia, Rabu (5/2).
Bagi Feri, mengevaluasi pejabat dari lembaga lain, meskipun dipilih lewat fit and proper test di parlemen bukanlah tugas DPR. Jika hal itu dilakukan, DPR disebutnya sudah masuk terlalu jauh pada kekuasaan wilayah lembaga lainnya. Ia pun mempertanyakan kapasitas DPR dalam memahami perundang-undangan. Pada kasus evaluasi hakim konstitusi, misalnya, Feri menyebut upaya DPR itu melampaui ketentuan yang sudah digariskan dalam konstitusi. "Pasal 24 UUD kan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan merdeka. Masak ya merdeka, tapi bisa dipecat-pecat oleh DPR," ucap Feri.
Ia juga heran terhadap kewenangan Peraturan DPR tentang Tatib tersebut. Seharusnya, peraturan itu lebih banyak mengurusi masalah internal di DPR bukan mengevaluasi pejabat lembaga lain. Di samping hakim konstitusi, pejabat negara lain yang proses pemilihannya dilakukan lewat DPR antara lain pimpinan KPK, anggota KPU, dan anggota Bawaslu.(M-2)
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap 15 perkara pengujian undang-undang.
Harimurti menambahkan ketidakpastian hukum ini dapat dilihat dari data empiris yang menunjukkan adanya variasi putusan pengadilan dalam memaknai Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009.
GURU Besar Ilmu Media dan Jurnalisme Fakultas Ilmu Sosial Budaya UII, Masduki, mengajukan judicial review (JR) terkait UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pasal 65 ke MK.
DPC FPE KSBSI Mimika Papua Tengah mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) ke MK
PUTUSAN MK No.135/PUU-XXII/2024 memunculkan nomenklatur baru dalam pemilu.
Pemohon, aktivis hukum A. Fahrur Rozi, hadir langsung di ruang persidangan di Gedung MK, Jakarta.
PAKAR Hukum Tata Negara mempertanyakan urgensi pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, di tingkat global, tidak ada praktik serupa.
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai, penundaan pelantikan kepala daerah tidak akan berdampak apapun di daerah tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved