Pelaporan Saksi Ahli Kasus Timah ke Polisi Disebut Salah Alamat

Yakub Pryatama Wijayaatmaja
14/1/2025 17:06
Pelaporan Saksi Ahli Kasus Timah ke Polisi Disebut Salah Alamat
Terdakwa Harvey Moeis bersama terdakwan lainnya meninggakan ruangan saat waktu skorsing(MI/Usman Iskandar)

PAKAR hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menilai pelaporan terhadap Guru Besar IPB Bambang Hero Saharjo usai menghitung kerugian lingkungan saat menjadi saksi ahli dalam kasus tata niaga timah yang melibatkan Harvey Moeis salah alamat. 

Diketahui, Bambang Hero dilaporkan Ketua Umum DPP Putra Putri Tempatan (Perpat) Bangka Belitung Andi Kusuma ke Kepolisian Daerah Bangka Belitung pada hari Rabu, 8 Januari 2025.
Dalam laporan tersebut, Andi menuduh Bambang memberikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta atau keterangan palsu, sebagaimana diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“(Pelaporan) salah alamat dan tidak memahami esensi peran ahli di dalam pembuktian. Peran ahli dalam pembuktian itu membantu hakim di dalam menerjemahkan suatu kasus,” tegas Hibnu kepada Media Indonesia, Selasa (14/1). 

“Makanya ahli itu dibutuhkan untuk menjelaskan sesuatu,” tambahnya. 

Hibnu menuturkan keterangan ahli dibutuhkan lantaran Hakim tidak mengetahui terkait materi persidangan yang lebih detail. 

Maka, kata Hibnu, diperlukan keterangan saksi dan ahli. Hibnu menyebut keterangan ahli yang menyebut harus berdasarkan sumpah dan berdasarkan keilmuannya. 

Hibnu juga menerangkan bahwa saksi ahli meski ada perbedaan tidak bisa dilaporkan tetapi harus pembuktian di pengadilan. 

“Saling membuktikan di situ (pengadilan). Karena hakim terkait keterangan ahli itu bisa diakui bisa tidak. Konsep ahli dalam pembuktian itu bebas hakim bisa memakai atau tidak,” ucapnya. 

Sebelumnya, Ketua Umum DPP Putra Putri Tempatan (Perpat) Bangka Belitung Andi Kusuma melaporkan Bambang Hero Saharjo ke Kepolisian Daerah Bangka Belitung pada hari Rabu, 8 Januari 2025.
Dalam laporan tersebut, Andi menuduh Bambang memberikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta atau keterangan palsu, sebagaimana diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal ini menyatakan bahwa siapa pun yang dalam keadaan di mana undang-undang menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah, baik secara lisan maupun tertulis, namun justru memberikan keterangan palsu di atas sumpah, dapat dipidana dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun.

Jika keterangan palsu tersebut diberikan dalam perkara pidana yang tersangkanya diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, pelaku dapat dipidana dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Rp271 triliun

Kasus ini bermula dari permintaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia kepada Bambang untuk melakukan perhitungan terkait kerugian negara yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan di wilayah tambang Bangka Belitung. Berdasarkan hasil analisisnya, Bambang menyatakan bahwa kerugian yang ditimbulkan mencapai angka yang sangat besar, yaitu Rp271 triliun.

Namun, angka tersebut memicu kontroversi. Andi Kusuma mempertanyakan keahlian dan kompetensi Bambang sebagai saksi ahli dalam melakukan estimasi kerugian negara.

Menurut Andi, langkah hukum ini diambil karena adanya dugaan bahwa keterangan yang disampaikan oleh Bambang tidak sepenuhnya akurat atau dapat dipertanggungjawabkan, sehingga berpotensi merugikan pihak-pihak terkait.

Peristiwa ini menyoroti perdebatan tentang validitas perhitungan kerugian negara yang didasarkan pada kerusakan lingkungan, khususnya dalam kasus yang melibatkan sektor tambang di Bangka Belitung.

Andi menyebut bahwa laporan tersebut bukan hanya soal angka yang dinilai fantastis, tetapi juga terkait dengan prinsip keadilan dan kredibilitas saksi ahli yang memegang peran penting dalam proses hukum. (Ykb/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya