Demokrasi Indonesia Masih Berkembang, Penyesuaian Pemilu Keniscayaan

Devi Harahap
21/11/2024 12:57
Demokrasi Indonesia Masih Berkembang, Penyesuaian Pemilu Keniscayaan
Pengamat Politik UI Maswadi Rauf (kanan)(Dok.MI)

Sistem pemilihan umum di Indonesia yang telah diselenggarakan sejak 1955 telah mengalami berbagai perubahan baik dari aspek kerangka hukum, penyelenggara, tahapan, peserta, teknis pelaksanaan, tantangan maupun pelanggaran-pelanggaran di dalamnya.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Maswadi Rauf mengatakan adanya revisi Undang-Undang (UU) Pemilu yang kerap kali dilakukan merupakan hal lumrah bagi negara demokrasi yang masih berkembang. 

“Kita berdemokrasi seperti uji coba dan bereksperimen, karena sistem pemilu itu tidak mungkin sekali coba langsung jadi. Apapun itu yang ada di dalam demokrasi, tidak bisa hanya sekali jadi harus ada trial and error atau uji coba dan kita memperbaiki berdasarkan pengalaman kita,” kata Maswadi di Jakarta pada Kamis (21/11). 

Maswadi menilai, UU Pemilu yang dinginkan bersama tidak mungkin tercapai dalam sekali praktik, sehingga diperlukan sejumlah pengalaman pelaksanaan pemilu untuk dapat memperbaiki pelaksanaan pemilu.

“Ada yang mempermasalahkan perubahan UU Pemilu, hal itu menunjukkan ketidakpastian peraturan perundangan tentang pemilu, tapi Perubahan UU Pemilu itu harus terus dilakukan apabila masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam pelaksanaan pemilu. Pengalaman dalam melaksanakan pemilu adalah materi terbaik untuk memperbaiki penyelenggaraan pemilu,” ujarnya. 

Menurut Maswadi, tidak ada aturan yang baku dalam membentuk sistem kepemiluan bagi suatu negara, hal itu akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi perpolitikan dalam negeri.   

“Walaupun kita sudah melakukan pemilu lebih dari 10 kali, tetapi kita masih belum bisa menemukan bentuk yang cocok untuk bangsa ini. Tapi sebagaimana dalam undang-undang partai politik, tidak ada kaidah yang universal untuk merumuskan sistem pemilu sehingga apapun itu, harus sesuai dengan kebutuhan,” tuturnya. 

Sementra itu, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan perlu ada model sistem pemilu keserentakan dan sistem pemilihan umum (pemilu) yang tepat untuk meningkatkan kualitas pemilu di Indonesia.

Menurut Titi, harus ada pembagian sistem waktu terkait keserentakan pemilihan dengan mengkategorisasi ke dalam dua hal, yakni keserentakan pemilihan tingkat nasional dan keserentakan pemilihan tingkat daerah.

“Pada tingkat nasional, pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, dan presiden. Sedangkan, pada tingkat daerah, pemilu diselenggarakan untuk memilih DPRD dan kepala daerah. Ini lebih sederhana, kita juga sebagai pemilih lebih berkonsentrasi untuk mengawasi,” tuturnya.

Selain itu, Titi menyarankan agar kedua pemilihan dengan sistem serentak tersebut diberi jarak selama dua tahun untuk memastikan kesiapan penyelenggara pemilu baik secara teknis, pengawasan hingga evaluasi. 

“Kalau desain pemilu serentaknya seperti sekarang, jangan pernah membayangkan kemampuan dan kapasitas profesionalisme punya negara kita bisa maksimal,” imbuhnya. (DEV/P-2) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya