Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sistem pemilihan umum di Indonesia yang telah diselenggarakan sejak 1955 telah mengalami berbagai perubahan baik dari aspek kerangka hukum, penyelenggara, tahapan, peserta, teknis pelaksanaan, tantangan maupun pelanggaran-pelanggaran di dalamnya.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Maswadi Rauf mengatakan adanya revisi Undang-Undang (UU) Pemilu yang kerap kali dilakukan merupakan hal lumrah bagi negara demokrasi yang masih berkembang.
“Kita berdemokrasi seperti uji coba dan bereksperimen, karena sistem pemilu itu tidak mungkin sekali coba langsung jadi. Apapun itu yang ada di dalam demokrasi, tidak bisa hanya sekali jadi harus ada trial and error atau uji coba dan kita memperbaiki berdasarkan pengalaman kita,” kata Maswadi di Jakarta pada Kamis (21/11).
Maswadi menilai, UU Pemilu yang dinginkan bersama tidak mungkin tercapai dalam sekali praktik, sehingga diperlukan sejumlah pengalaman pelaksanaan pemilu untuk dapat memperbaiki pelaksanaan pemilu.
“Ada yang mempermasalahkan perubahan UU Pemilu, hal itu menunjukkan ketidakpastian peraturan perundangan tentang pemilu, tapi Perubahan UU Pemilu itu harus terus dilakukan apabila masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam pelaksanaan pemilu. Pengalaman dalam melaksanakan pemilu adalah materi terbaik untuk memperbaiki penyelenggaraan pemilu,” ujarnya.
Menurut Maswadi, tidak ada aturan yang baku dalam membentuk sistem kepemiluan bagi suatu negara, hal itu akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi perpolitikan dalam negeri.
“Walaupun kita sudah melakukan pemilu lebih dari 10 kali, tetapi kita masih belum bisa menemukan bentuk yang cocok untuk bangsa ini. Tapi sebagaimana dalam undang-undang partai politik, tidak ada kaidah yang universal untuk merumuskan sistem pemilu sehingga apapun itu, harus sesuai dengan kebutuhan,” tuturnya.
Sementra itu, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan perlu ada model sistem pemilu keserentakan dan sistem pemilihan umum (pemilu) yang tepat untuk meningkatkan kualitas pemilu di Indonesia.
Menurut Titi, harus ada pembagian sistem waktu terkait keserentakan pemilihan dengan mengkategorisasi ke dalam dua hal, yakni keserentakan pemilihan tingkat nasional dan keserentakan pemilihan tingkat daerah.
“Pada tingkat nasional, pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, dan presiden. Sedangkan, pada tingkat daerah, pemilu diselenggarakan untuk memilih DPRD dan kepala daerah. Ini lebih sederhana, kita juga sebagai pemilih lebih berkonsentrasi untuk mengawasi,” tuturnya.
Selain itu, Titi menyarankan agar kedua pemilihan dengan sistem serentak tersebut diberi jarak selama dua tahun untuk memastikan kesiapan penyelenggara pemilu baik secara teknis, pengawasan hingga evaluasi.
“Kalau desain pemilu serentaknya seperti sekarang, jangan pernah membayangkan kemampuan dan kapasitas profesionalisme punya negara kita bisa maksimal,” imbuhnya. (DEV/P-2)
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) memastikan jadwal Pilkada tetap pada 27 November 2024. Dia tegaskan tidak ada rencana percepatan atau memajukan jadwal Pilkada 2024.
Sejauh ini ia belum mengetahui apakah Jokowi akan cuti untuk turun gunung kampanye.
Berlangsung di JCC Senayan, debat cawapres akan dimulai tepat pukul 19.00
LOGISTIK pemilu tahap pertama sudah tiba di 16 dari 22 kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk persiapan Pemilu 2024 mendatang.
KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta KPU dan Bawaslu memastikan Pemilu 2024 bebas penyalahgunaan anak, termasuk manipulasi data anak di bawah umur.
PARTAI Kebangkitan Bangsa (PKB) menilai pemilu terpisah tidak berpengaruh terhadap sistem kepengurusan partai. Namun, justru berdampak pada pemilih yang lelah.
PAKAR hukum Pemilu FH UI, Titi Anggraini mengusulkan jabatan kepala daerah dan anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota yang terpilih pada Pemilu 2024 diperpanjang.
GURU Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Umbu Rauta menanggapi berbagai tanggapan terhadap putusan MK tentang pemisahan Pemilu.
PEMISAHAN pemilu tingkat nasional dan lokal yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai keliru. Itu harusnya dilakukan pembuat undang-undang atau DPR
Titi Anggraini mengatakan partai politik seharusnya patuh pada konstitusi. Hal itu ia sampaikan terkait putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal
AHY menyebut keputusan MK itu akan berdampak pada seluruh partai politik, termasuk Partai Demokrat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved