Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
YAYASAN Advokasi Hak Konstitusional (Yakin) menyeret Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Komisi Informasi Pusat (KIP) demi mendapatkan akes informasi seputar data kepemiluan. Data itu bakal dijadikan Yakin sebagai bekal untuk membuktikan kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024.
Sidang perdana sengketa informasi antara Yakin dan KPU digelar di Kantor KPI, Jakarta, Selasa (5/3). Ketua Yakin, Ted Hilbert, mengatakan, pihaknya sudah mengajukan tiga permohonan informasi pemilu. Informasi pertama seputar data mentah real count. Kedua, rincian server dan teknologi informasi pemilu, termasuk kontrak antara KPU dan Alibaba Cloud. Terakhir, data mentah pemilihan dan Pemilu 1999-2024.
Dari ketiganya, KPU hanya menjawab permohonan Yakin yang ketiga. Namun, Ted menilai jawaban yang diberikan KPU tidak sesuai dengan yang dimohonkan pihaknya. Di hadapan majelis sidang, Ted mengatakan bakal menggunakan data-data terkait kepemiluan dari KPU untuk membuktikan ada tidaknya kecurangan pada Pemilu 2024 seperti yang diberitakan selama ini.
Baca juga : Sidang Sengketa Informasi, KPU Dituntut Buka-bukaan soal Kontrak dengan Alibaba
"Ada banyak klaim kecurangan pemilu. Luar biasa klaim-klaim dari banyak pihak. (Namun), tidak ada satu pun yang punya dasar," ujarnya.
Ted juga menyoroti banyak dugaan berita bohong yang meliputi penyelenggaraan Pemilu 2024. Salah satunya terkait server milik KPU yang berlokasi di Tiongkok maupun Prancis. Ia berpendapat untuk membuktikan benar tidaknya hoaks tersebut, publik perlu mengetahui transparansi mengenai infrastruktur teknologi informasi KPU.
Ia mengaku sudah berkonsultasi dengan para ahli teknologi. Jika sudah mengantongi informasi-informasi yang dimohonkan ke KPU, Yakin bakal melakukan forensik pemilu dengan menggunakan metode statistik dan matematika serta analisis mahadata. "Kami akan melakukan analisais forensik pemilu lengkap dan memublikasikan hasil dari analisis tersebut dan juga menggugat atau membantu pihak lain yang berwenang atau punya (legal) standing untuk menggugat kalau memang ada bukti kecurangan," tandasnya.
Baca juga : KPU Tingkatkan Akurasi Teknologi Informasi Pemilu 2024
Majelis sidang tersebut diketuai oleh anggota KIP Syawaludin dengan didampingi dua anggota lain, yaitu Rospita Vici Paulyn dan Arya Sandhiyudha. Dalam sidang itu, majelis menyoroti buruknya KPU dalam mengelola layanan informasi publik.
Itu lantaran KPU tidak menjawab dua permohonan keterbukaan informasi publik oleh Yakin. Pihak KPU yang diwakili Reni Rinjani Pratiwi menjelaskan seputar alur penerimaan surat permohonan informasi dari publik yang tidak langsung diterima oleh bagian Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), tetapi juga diteruskan ke pimpinan KPU.
Setelah mendapat konfirmasi dari pimpinan KPU, surat permohonan itu baru didisposisikan ke PPID untuk ditindaklanjuti. Anggota majelis, Rospita, mengaku bingung dengan alur persuratan di KPU. Sebab, informasi publik, khususnya soal kepemiluan, harus dijawab dengan cepat oleh PPID KPU.
Baca juga : Diagram Perolehan Suara Sirekap Lenyap, Sahroni Nilai Saatnya Audit IT KPU
Menurutnya, keberadaan PPID pada setiap badan publik bertujuan memangkas birokrasi yang bertele-tele. Lebih lanjut, PPID harusnya mampu memudahkan komunikasi antara lembaga dan masyarakat.
"Ketika informasi terbuka, dia enggak perlu naik ke pimpinan, cukup PPID yang menangani. Jadi PPID buka dulu suratnya. TU (Tata Usaha) harusnya paham ketika ditujukan kepada pengelola informasi. Enggak perlu naik ke pimpinan, jadi Informasinya bisa direspons dengan cepat," tambahnya Rospita tegas.
"Saya bingung nih kalau Ketua KPU fungsinya berubah juga jadi sekretariat, meriksa surat menyurat. (Yakin) tujuannya jelas, permohonan keterbukaan informasi publik, yang harusnya tanggung jawab PPID," terang Rospita.
Baca juga : TPN Ganjar-Mahfud Curigai Sirekap Sengaja Dibuat untuk Manipulasi Suara
Staf KPU lain bernama Andi mengungkap pihaknya telah mendapat balasan dari Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi KPU terkait permohonan Yakin soal rincian server dan topologi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Menurutnya, KPU belum dapat memberikan informasi itu karena data-data tersebut termasuk data yang dikecualikan dan bersifat rahasia.
Oleh karenanya, KPU meminta dilakukan uji konsekuensi sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Beleid itu menjelaskan informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia.
"Sampai saat ini, proses Sirekap masih berjalan dan digunakan. Apabila data-data tersebut terpublikasi, akan mengganggu proses tahapan pemungutan dan perhitungan suara di masing-masing tingkatan," jelasnya. KIP sendiri bakal melanjutkan persidangan pada pekan depan, Rabu (13/3) dengan agenda uji konsekuensi informasi KPU. (Z-2)
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) RI akan segera memperbaharui dinamika perubahan data pemilih pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah.
KPU Mochammad Afifuddin mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk memisahkan pemilu tingkat nasional dan lokal mulai 2029.
KPU bakal mempelajari secara detail mengenai putusan MK tersebut yang berangkat dari uji materi oleh Perludem selaku pemohon.
KPU sedang menyusun rancangan peraturan KPU (RPKPU) terbaru tentang penggantian antarwaktu (PAW) anggota legislatif.
Themis Indonesia, TII, dan Trend Asia melaporkan dugaan korupsi itu dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor. Laporan dilayangkan pada 3 Mei lalu.
Koalisi masih memiliki waktu tujuh hari untuk memperbaiki pengaduan di DKPP yang tenggatnya jatuh pada 13 Juni mendatang.
GURU Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Umbu Rauta menanggapi berbagai tanggapan terhadap putusan MK tentang pemisahan Pemilu.
PEMISAHAN pemilu tingkat nasional dan lokal yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai keliru. Itu harusnya dilakukan pembuat undang-undang atau DPR
Titi Anggraini mengatakan partai politik seharusnya patuh pada konstitusi. Hal itu ia sampaikan terkait putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal
AHY menyebut keputusan MK itu akan berdampak pada seluruh partai politik, termasuk Partai Demokrat.
Titi meminta kepada DPR untuk tidak membenturkan antara Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 dengan putusan konstitusionalitas pemilu serentak nasional dan daerah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved