Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
LANGKAH DPR menunda pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai sebagai langkah yang tepat. Rencana perpanjangan masa jabatan hakim yang diatur dalam pasal 87A merupakan hal krusial yang dilakukan di tahun politik.
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengungkapkan revisi UU MK dikhawatirkan menimbulkan simpang siur yang membuat gaduh situasi politik.
"Saya khawatir belum ada masukan yang clear. Maka ini dari pada ribut terjadi simpang siur sudahlah tidak kita ajukan dulu keputusan tingkat dua mari kita nanti duduk bersama dialog," ujarnya di gedung DPR, Selasa (5/12).
Baca juga : Revisi UU MK Butuh Kesamaan Sikap
Secara spesifik dalam pembahasan revisi UU MK secara konsinyasi tersebut Bambang mengkhawatirkan tentang posisi hakim yang menjabat sekarang. Pasal yang mengatur tentang penggantian yang diatur dalam revisi UU MK mengancam posisi hakim existing dan petahana.
Baca juga : Sebelum Disurati Pemerintah, DPR Sudah Tunda Pengesahan Revisi UU MK
"Yang jadi soal adalah pasal pergantian yang existing hari ini, bagaimana dengan hakim-hakim petahana. Itulah yang dimuat di pasal 87 butir A," ungkapnya.
Sebelumnya DPR telah melaksanakan rapat konsinyasi dalam membahas revisi UU MK. Dalam peraturan peralihan sudah ditandangani oleh delapan fraksi kecuali fraksi PPP yang tidak hadir perwakilannya.
Namun setelah dicermati isi draf revisi tersebut pemerintah tidak mau menandatanganinya sebab tidak setuju dengan sejumlah ketentuan peralihan masa jabatan hakim yang saat ini masih menjabat.
Dari informasi yang diterima Media Indonesia aturan peralihan masa jabatan hakim tersebut akan ditujukan untuk menyingkirkan empat hakim MK yang menolak putusan nomor 90 yang menggolkan syarat menjadi capres dan cawapres. (Z-8)
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025 selanjutnya akan dibahas lebih lanjut. Ia mengatakan perlu regulasi yang detail untuk menjalankan putusan MK tersebut.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135 tahun 2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Titi menekankan DPR harus segera membahas RUU Pemilu sebab putusan MK tidak bisa menjadi obat bagi semua persoalan pemilu saat ini.
Bima Arya Sugiarto menilai bahwa keserentakan pemilu dan pilkada memberikan banyak manfaat dalam hal perencanaan anggaran.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved