Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Butuh Kesadaran Semua Pihak untuk Tingkatkan Kualitas Pemilu

Indriyani Astuti
20/9/2023 21:56
Butuh Kesadaran Semua Pihak untuk Tingkatkan Kualitas Pemilu
Wakil Ketua MPR Lestarie Moerdijat dalam Diskusi Denpasar 12(Dok NasDem)

Pemilihan umum (pemilu) 2024 semakin dekat. Untuk memperbaiki kualitas pemilu sebagai ajang kompetisi dan pesta demokrasi dibutuhkan keterlibatan banyak elemen mulai dari penyelenggara, pemilih, masyarakat sipil, birokrasi yang netral serta partai politik peserta pemilu. 

Demikian mengemuka dalam diskusi daring Forum Denpasar 12 yang mengangkat tema ‘ Menyambut Pesta Demokrasi’, Rabu (20/9).

Dosen Hukum Kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menjelaskan ada enam prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu dapat berkualitas dan terselenggara dengan demokratis. 

Baca juga : Perubahan Jadwal Harus Dikaji Komprehensif 

Pertama, kerangka pemilu yakni peraturan perundang-undangan yang demokratis. Kedua, penyelenggara pemilu yang berintegritas.

“Penyelenggara pemilu yang berintegritas setengah dari modal mewujudkan pemilu yang adil. Aturan baik, bisa runtuh kalau penyeenggara yang tidak profesional dan berintegritas,” terang Titi.

Baca juga : DPR-Pemerintah Setujui Pendaftaran Capres-Cawapres 19-25 Oktober 2023

Ketiga, sambung Titi, peserta pemilu yakni partai politik dan para kandidat atau bakal calon pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Titi mengatakan, peserta pemilu diharapkan ikut mengawasi sesama peserta pemilu sehingga kompetisi dapat berjalan adil. Keempat, sambungnya, keberadaan birokrasi yang profesional dan netral. 

Netralitas birokrasi, ujarnya, penting karena mereka yang menggerakan anggaran serta bertanggung jawab atas pelayanan publik. 

Prasyarat kelima adalah hukum yang tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik. Hukum, sambungnya, semestinya digunakan untuk mewujudkan pemilu yang adil dengan cara memastikan hak pilih masyarakat terpenuhi.

Keenam, Titi menekankan pentingnya pemilih dapat terinformasi dengan baik. Pemilih diharapkan mengetahui siapa yang akan berkompetisi dalam pemilu, calon yang akan dipilih serta konsekuensi dari pilihan mereka.

Titi juga menyampaikan bahwa budaya politik dan moralitas politik yang rendah, dari para aktor dan pemangku kepentingan, membuat pemilu demokratis dan adil sulit direalisasikan.

Sejauh ini ia melihat pemilu masih didominasi oleh pragmatisme politik atau keinginan untuk menang dari para peserta sehingga tidak heran praktik politik uang masih marak mewarnai pemilu. 

Ia menyebut pada pemilu 2019 ada 69 putusan pengadilan terkait politik uang sebagai tindak pidana pemilu. Uang untuk membeli suara, ujarnya, masih dianggap sebagai jaring pengaman dari para kandidat untuk mempertahankan kursi.

“Pragmatisme untuk memenangi kompetisi elektoral mengabaikan 6 elemen yang bisa mengokohkan demokrasi,” ujar Titi.

Pada kesempatan yang sama, Politikus dari Fraksi Partai NasDem Saan Mustopa mengatakan perilaku politik yang bertentangan dengan semangat demokrasi. 

Oleh karena itu, partai politik sebagai salah satu parpol pilar utama demokrasi diharapkan punya kesadaran yang sama untuk menjaga, merawat dan meningkatkan kualitas demokrasi.

“Salah satu yang merusak demokrasi adalah money politik dan politik dinasti,” ujar Saan.

Demokrasi yang diwarnai dengan politik transaksional menurutnya akan melahirkan para kepala daerah yang tidak punya komitmen serta keberpihakan pada rakyat. Ia mendorong adanya perbaikan proses rekrutmen dari partai politik dalam mencalonkan kandidat dengan tidak menjadikan mahar atau politik uang sebagai hal yang wajar.

“Ada yang tidak biasa dan merusak demokrasi mahar dan vote buying untuk membeli suara pemilih. Ini harus kita cegah,” cetus Saan.

Senada, Anggota Dewan Pers Asep Setiawan mengatakan politik transaksional jadi satu fenomena yang berulang pada setiap pemilu. Jika Indonesia ingin menjadi negara yang dewasa dalam berdemokrasi, praktik tersebut menurutnya harus ditinggalkan.

“Peraturan apapun yang dibuat untuk menghindari money politik, akan sulit dijalankan apabila tidak ada komitmen dari peserta. Politik uang akan terulang kembali,” ujarnya.

Ia menyarankan agar fungsi pengawasan dari masyarakat sipil termasuk media massa diperkuat. Media massa, ujarnya, bisa menjadi watch dog atau penjaga dalam meminimalkan kecurangan pada proses pemilu.

“Pengawasan masyarakat sipil perlu ditingkatkan salah satunya media massa bisa mengurangi kelemahan-kelemahan dalam proses pemilu, kesadaran dari pemilih, dan parpol diharapkan tetap mempertahankan kepentingan nasional harus menjadi komitmen bersama,” ujar Asep. (Z-8)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda
Berita Lainnya