PENYELESAIAN administratif tindak pidana korupsi dana desa yang dapat dilakukan dengan proses tuntutan ganti rugi dinilai menabrak Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebab, pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana.
Demikian disampaikan peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah saat menanggapi pengusutan korupsi dana desa sebagai ultimum remidium atau langkah terakhir.
Upaya tersebut digariskan melalui memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri, Polri, dan kejaksaan, terkait penanganan laporan pengaduan penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk dana desa. Menurutnya, ultimum remidium dalam mengusut korupsi dana desa tidak masuk akal.
"Malah cenderung melakukan pembangkangan hukum. Bagi saya, perintah UU jangan sampai kalah dari MoU," katanya kepada Media Indonesia, Kamis (2/2).
Herdiansyah mengingatkan, turunnya indeks persepsi korupsi Indonesia dari skor 38 ke 34 tahun ini salah satunya disebabkan pilihan strategi pemberantasan korupsi yang lebih menekankan aspek pencegahan dibanding penindakan. Hal ini, lanjutnya, mencakup penanganan dugaan korupsi dana desa.
"Di mana kasus korupsi seolah dilokalisir hanya sekadar perkara administratif," ujar Herdiansyah.
Menurutnya, penanganan administratif perkara korupsi dana desa berdampak serius dan tidak akan menimbulkan deterrent effect atau efek jera.
Berdasarkan naskah MoU yang diperoleh Media Indonesia, penindakan korupsi melalui aparat penegak hukum sebenarnya masih diakomodir jika ditemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi.
Kendati demikian, MoU tersebut memungkinkan penyelesaian secara administratif jika ditemukan kerugian keuangan negara berdasarkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau perbendaharaan.
"Para pihak sepakat terhadap hasil pemeriksaan atau penyelidikan yang berindikasi kerugian keuangan negara yang nilainya lebih kecil dari biaya penanganan perkara diberikan kesempatan untuk menyelesaikan secara administratif paling lambat 60 hari," bunyi Pasal 5 MoU dimaksud.
Namun, mekanisme pidana dapat ditindaklanjuti apabila dalam waktu 60 hari indikasi kerugian negara tersebut tidak dapat diselesaikan. (OL-4)