Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
DIREKTUR Eksekutif Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya tidak masuk terlalu jauh dalam memutuskan sistem pemilihan jenis apa yang akan digunakan dalam pemilihan umum (pemilu).
Penentuan sistem pemilu, ujar Ninis, sapaan Khoirunnisa, seharusnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang. Hal itu ditegaskan Ninis, sapaan Khoirunnisa, merespons gugatan uji materiil terkait sistem proporsional terbuka yang diatur dalam Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilihan Umum.
“Kalau menurut kami perubahan sistem pemilu seharusnya dilakukan dalam kerangka revisi UU pemilu yang dibahas antara pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah. Bukan ranahnya MK untuk menentukan sistem pemilu mana yang konstitusional, “ tutur Ninis, ketika dihubungi, Rabu (1/2).
Ninis menjelaskan UUD 1945 memang tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pemilu apa yang digunakan dalam pemilihan legislatif. Meskipun demikian, MK bisa memberikan prinsip-prinsip bagi pembentuk undang-undang yang akan diberlakukan bagi pemilihan DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
“Yang bisa dilakukan oleh MK adalah memberikan prinsip-prinsip dalam menentukan sistem pemilu,” imbuhnya.
Ninis lebih lanjut menjelaskan, masing-masing sistem pemilu punya kekurangan dan kelebihan sehingga tidak bisa dikatakan salah satu sistem pemilu konstitusional dan yang lainnya tidak.
Untuk pemilu 2024, ujar Ninis, yang berlaku saat ini menggunakan sistem proporsional terbuka seperti yang diatur dalam UU No.7/2017. Ninis mengingatkan bahwa tahapan pemilu 2024 sudah berjalan sehingga sebaiknya tidak perlu ada perubahan sistem pemilu legislatif.
Baca juga: Anies Resmi Dapat Tiket Capres, Pengamat: Segera Diikuti Koalisi Lain
“Apalagi sekarang sudah masuk tahapan pemilu, mengubah sistem pemilu di tengah-tengah tahapan pemilu tentu tidak tepat karena yang namanya tahapan pemilu harus bisa diprediksi,” tuturnya.
Setiap sistem pemilu, sambungnya, terdapat kekurangan dan kelebihan masing-masing. Ia mencontohkan sistem proporsional terbuka sebaiknya dibuat lebih sederhana. Penyelenggaraan pemilu presiden, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD RI, ucap Ninis, sebaiknya tidak dilangsungkan secara bersamaan seperti saat ini.
Pasalnya model keserentakan sistem pemilu yang berlaku sekarang sangat kompleks bagi pemilih dan mengakibatkan banyaknya suara tidak sah. Upaya lain untuk perbaikan pemilu dengan sistem proporsional terbuka, ujarnya, dengan pengundian nomor urut calon legislatif. Dalam pemilu legislatif, partai politik yang menentukan nomor urut para calon yang diusung sehingga tidak adil bagi para calon legislatif.
Namun, Ninis menekankan bahwa tidak ada jaminan pemilu dapat berjalan demokratis jika sistem pemilu legislatif diubah dari terbuka menjadi tertutup.
“Demikian juga untuk proporsional tertutup, kalau tidak ada garansi demokratisasi di internal partai maka sama saja akan bermasalah,” tukasnya.
Gugatan mengenai sistem pemilihan proporsional terbuka dimohonkan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P)), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem)), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono ke MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.
Mereka mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, sistem proporsional terbuka dan tertutup pernah diterapkan dalam pemilihan umum.
Namun, sejak 2004 Indonesia menerapkan sistem pemilihan proporsional terbuka. Dalam sistem ini pemilih memilih calon legislatif secara langsung. Sedangkan pada sistem pemilu proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos nama partai politik tertentu. Kemudian partai politik yang nantinya menentukan nama-nama anggota legislatif di dewan. (OL-4)
Delia mengungkapkan Puskapol sejak 2014 mendorong sistem proposional terbuka karena mengusung semangat pemilih bisa diberikan pilihan untuk memilih caleg secara langsung.
Yakni 70 persen kursi diisi dengan sistem proporsional terbuka, dan 30 kursi diisi oleh daftar nama yang sejak awal telah disusun oleh partai politik (party-list).
Pertimbangan Mahkamah itu tentu bukan hanya pepesan kosong belaka, melainkan ditopang fakta empiris.
Ayep pun mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut demi masa depan Indonesia dan memastikan hak-hak masyarakat dapat terpenuhi.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, putusan MK ini membuktikan bahwa sistem proporsional terbuka sudah sesuai dengan konstitusi.
KETUA Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu RI Rahmat Bagja menilai Undang-Undang (UU) Nomor 7/2017 tentang Pemilu tidak didesain untuk kepentingan kampanye pada Pemilu 2024.
Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 tersebut.
MK menyatakan tidak menerima permohonan pengujian materiil UU Kementerian Negara yang mempersoalkan rangkap jabatan wakil menteri
Mendagri Tito Karnavian menyebut pemerintah masih mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Menurutnya, pelibatan publik dalam pembahasan undang-undang merupakan tanggung jawab DPR dan pemerintah, karena merupakan hak dari publik.
Terdapat 30 wamen yang saat ini merangkap jabatan menjadi komisaris di BUMN.
Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA, Rizkiansyah Panca Yunior Utomo menyoroti sejumlah ketentuan dalam UU Kejaksaan yang dinilai menimbulkan polemik, salah satunya Pasal 8 ayat (5).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved