Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Hapus Badan Peradilan Khusus, MK Kukuhkan Diri sebagai Peradilan Pemilu

Indriyani Astuti
29/9/2022 19:42
Hapus Badan Peradilan Khusus, MK Kukuhkan Diri sebagai Peradilan Pemilu
Suasana sidang pembacaan putusan gugatan uji materi Pasal 157 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.10/2016.(MI/M. Irfan)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) membatalkan keberadaan badan peradilan khusus yang diatur dalam Pasal 157 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.10/2016 tentang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota.

MK menegaskan karena tidak ada lagi perbedan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, maka MK menjadi lembaga satu-satunya yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pada putusannya, MK mengabulkan permohonan pengujian Pasal 157 ayat (1) dan (2) UU Pilkada terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta, Kamis (29/9).

Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada berbunyi, “Perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus”; Pasal 157 ayat (2) “Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak secara nasional”.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan Mahkamah mengatakan, dengan dinyatakan bahwa Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 inskonstitusional, maka sifat kesementaraan yang diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016, telah hilang. Dengan demikian, MK berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi terbatas hanya “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, melainkan akan bersifat permanen.

“Menurut Mahkamah solusi hukum meletakkan atau menempatkan badan peradilan khusus tersebut di bawah Mahkamah Agung maupun MA bukan pilihan yang tepat dan konstitusional. Apalagi seandainya badan peradilan khusus tersebut direncanakan untuk dibentuk terpisah kemudian diletakkan di bawah MK karena membutuhkan pengubahan dasar hukum yang lebih berat.

Baca juga: Masa Kampanye Singkat 75 Hari, KPU: Cegah Polarisasi Terulang

“Pilihan atau alternatif yang lebih mungkin dilaksanakan secara normatif, dan lebih efisien, bukanlah membentuk badan peradilan khusus untuk menempatkannya di bawah MK, melainkan langsung menjadikan kewenangan MK,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Pada permohonan uji materiil tersebut, Perludem juga memohonkan permohonan provinsi agar Mahkamah dapat memutus segera. Itu dikarenakan proses dan tahapan pemilihan umum (pemilu) 2024 sudah dimulai. MK mengabulkan permohonan provisi tersebut.

Pada kesempatan yang sama, MK juga menyatakan menolak permohonan Partai Buruh mengenai verifikasi partai politik dalam perkara pengujian Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terhadap UUD 1945. Selain itu, permohonan uji materiil oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu. Ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% (dua puluh persen) kursi DPR atau 25% (dua puluh lima persen) suara nasional. Menurut PKS angka tersebut terlalu tinggi sehingga partai tersebut tidak dapat mengusung calon presiden sendiri dan harus berkoalisi dengan partai lain.

Terhadap ketentuan Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah tetap pada pendiriannya yakni hal tersebut merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Adapun dalil pemohon yang menyatakan ketentuan presidential threshold perlu diberikan batasan yang lebih proporsional dan rasional, menurut Mahkamah hal tersebut bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah. Terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra mengenai putusan tersebut.

Kedua hakim konstitusi itu berpendapat ambang batas pencalonan presiden bukan open legal policy sebab secara konstitusional, syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden telah ditentukan secara eksplisit dalam UUD 1945. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemillihan umum”.

Menurut Hakim Konstitusi Saldi Isra, konstitusi yang secara tegas mengenai pencalonan tidak boleh mengurangi hak partai politik yang memiliki hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut. Di samping itu, UU Pemilu juga dianggap menambahkan norma baru bahwa suara hasil pemilu yang digunakan untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, adalah suara sah hasil pemilu anggota DPR terakhir. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya