Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
LEMBAGA Swadaya Masyarakat (LSM) Pemerhati Perempuan, Perempuan Mahardika menilai seharusnya dengan spirit Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) kasus-kasus pelanggaran HAM seperti kasus Marsinah dan pemerkosaan Mei 1998 bisa diselesaikan dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM namun spiritnya tetap UU TPKS.
UU TPKS menjadi harapan baru karena akhirnya Indonesia memiliki regulasi yang benar-benar mengatur pencegahan, penanganan, dan perlindungan korban kasus kekerasan seksual.
"Pelanggaran HAM berat sudah cukup bisa digunakan menyelesaikan kasus Marsinah dan pemerkosaan Mei 98," kata Aktivis Perempuan Mahardika Vivi Widyawati dalam dialog daring, Jumat (20/5).
Bulan Mei di tahun 2022 menandai tahun ke-29 kasus penculikan, perkosaan dan pembunuhan kepada seorang buruh perempuan yang bernama Marsinah, berlalu tanpa keadilan.
Serupa dengan Marsinah, bagi para perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual dalam peristiwa tragedi Mei 98 tahun ini adalah tahun ke 24, kasus-kasus kekerasan seksual tersebut terus disangkal.
Baca juga : Ketua MPR: Sudah Saatnya Sistem Demokrasi Indonesia Dikaji Ulang
"Jika dilihat definisi setiap perbuatan seseorang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tak disengaja ataupun kelalaian mengurangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia maka jelas faktanya sudah ada korbannya pun sudah dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) membenarkan adanya pelanggaran HAM," ujar Vivi.
Sehingga, lanjut Vivi, bagaimana pemerintah punya political will di 24 tahun reformasi untuk melanjutkan dan menuntaskan kasus lampau tersebut.
"Saat ini bola panas masih digenggam pemerintah apakah mau menyelesaikan atau tidak melihat saat ini sepertinya tidak," ungkapnya.
Oleh karena itu, Perempuan Mahardika meminta pemerintah dan DPR harus segera mengakui Kasus Marsinah dan Perkosaan Mei 98 sebagai kasus Pelanggaran HAM dan mewujudkan peradilan bagi korban.
"Harapan untuk tidak berulangnya kasus kekerasan seksual maupun bentuk-bentuk pelanggaran HAM di Indonesia, akan sulit terwujud ketika kasus kekerasan seksual dan pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan kekuatan militer pada masa rezim orde baru tidak diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM," pungkasnya. (OL-7)
KEBERHASILAN jajaran Polres Tangsel menangkap S, 45, terduga pelaku pemerkosaan terhadap anak perempuan berusia 10 tahun di Komplek Kejaksaan, Cipayung, Ciputat, Tangsel, menuai apresiasi.
“Jika terbukti benar (adanya pelecehan seksual), kami melihat ini sebagai catatan buruk dalam kontes Miss Universe."
Namun, Kementerian PPPA menekankan bahwa pada dasarnyUU TPKS sudah bisa digunakan. Terkecuali ketentuan pelaksana yang membutuhkan aturan turunan.
Dalam kejadian yang menimpa N ini perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Apapun alasannya, permasalahan sebab akibat menjadi syarat mutlak yang harus dilihat dalam kasus N ini .
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga memandang UGM adalah institusi yang memiliki peran besar dalam isu perempuan dan anak.
SEJAK Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS telah masuk dalam lembaran negara, maka UU ini sudah bisa digunakan dalam menangani kasus kejahatan seksual.
Utang luar negeri juga terus membengkak sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah turun drastis.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebutkan pemerkosaan saat Tragedi Mei 1998 hanya rumor dan tidak ada bukti diminta minta maaf atas pernyataannya
Pegiat HAM Perempuan Yuniyanti Chizaifah menegaskan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998
KOALISI Masyarakat Sipil mengecam keras pernyataan Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyatakan bahwa tidak ada bukti dalam pemerkosaan massal Mei 1998.
ANGGOTA Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana, menegaskan bahwa dirinya menolak narasi tunggal penulisan ulang sejarah yang digagas oleh Fadli Zon.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved