Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
LEMBAGA Swadaya Masyarakat (LSM) Pemerhati Perempuan, Perempuan Mahardika menilai seharusnya dengan spirit Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) kasus-kasus pelanggaran HAM seperti kasus Marsinah dan pemerkosaan Mei 1998 bisa diselesaikan dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM namun spiritnya tetap UU TPKS.
UU TPKS menjadi harapan baru karena akhirnya Indonesia memiliki regulasi yang benar-benar mengatur pencegahan, penanganan, dan perlindungan korban kasus kekerasan seksual.
"Pelanggaran HAM berat sudah cukup bisa digunakan menyelesaikan kasus Marsinah dan pemerkosaan Mei 98," kata Aktivis Perempuan Mahardika Vivi Widyawati dalam dialog daring, Jumat (20/5).
Bulan Mei di tahun 2022 menandai tahun ke-29 kasus penculikan, perkosaan dan pembunuhan kepada seorang buruh perempuan yang bernama Marsinah, berlalu tanpa keadilan.
Serupa dengan Marsinah, bagi para perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual dalam peristiwa tragedi Mei 98 tahun ini adalah tahun ke 24, kasus-kasus kekerasan seksual tersebut terus disangkal.
Baca juga : Ketua MPR: Sudah Saatnya Sistem Demokrasi Indonesia Dikaji Ulang
"Jika dilihat definisi setiap perbuatan seseorang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tak disengaja ataupun kelalaian mengurangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia maka jelas faktanya sudah ada korbannya pun sudah dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) membenarkan adanya pelanggaran HAM," ujar Vivi.
Sehingga, lanjut Vivi, bagaimana pemerintah punya political will di 24 tahun reformasi untuk melanjutkan dan menuntaskan kasus lampau tersebut.
"Saat ini bola panas masih digenggam pemerintah apakah mau menyelesaikan atau tidak melihat saat ini sepertinya tidak," ungkapnya.
Oleh karena itu, Perempuan Mahardika meminta pemerintah dan DPR harus segera mengakui Kasus Marsinah dan Perkosaan Mei 98 sebagai kasus Pelanggaran HAM dan mewujudkan peradilan bagi korban.
"Harapan untuk tidak berulangnya kasus kekerasan seksual maupun bentuk-bentuk pelanggaran HAM di Indonesia, akan sulit terwujud ketika kasus kekerasan seksual dan pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan kekuatan militer pada masa rezim orde baru tidak diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM," pungkasnya. (OL-7)
WARTAWAN Senior Usman Kansong menilai bahwa pendekatan hukum dalam implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) hingga kini masih tersendat.
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menyoroti lambannya implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) meski telah disahkan sejak 2022
POLRI menegaskan komitmennya dalam mengimplementasikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara komprehensif. Selain menjalankan fungsi penegakan hukum,
PEMBENAHAN mutlak diperlukan di sejumlah sektor untuk mendorong efektivitas penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
KETUA Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono mengatakan terdapat implikasi jika tidak memaksimalkan UU TPKS.
SEJAK disahkan 9 Mei 2022, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum optimal ditegakkan dalam melindungi korban kekerasan seksual.
ANGGOTA Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana, menegaskan bahwa dirinya menolak narasi tunggal penulisan ulang sejarah yang digagas oleh Fadli Zon.
KOALISI Masyarakat Sipil mengecam keras pernyataan Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyatakan bahwa tidak ada bukti dalam pemerkosaan massal Mei 1998.
Kerusuhan yang melanda berbagai kota besar bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan ekonomi, tetapi juga trauma sosial yang mendalam.
Pegiat HAMĀ Perempuan Yuniyanti Chizaifah menegaskan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998
Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebutkan pemerkosaan saat Tragedi Mei 1998 hanya rumor dan tidak ada bukti diminta minta maaf atas pernyataannya
UPAYA Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunaikan janji menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu dinilai belum maksimal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved