Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
ANGGOTA Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana, menegaskan bahwa dirinya menolak narasi tunggal penulisan ulang sejarah yang digagas oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, sebagaimana dengan apa yang telah dikemukakan oleh banyak pihak.
“Apalagi selama 32 tahun kita diindoktrinisasi oleh sejarah tunggal yang dibuat oleh TNI tentang 1965, di mana Orba dibangun oleh genosida 1965-1966 yang berdarah-darah dan dibangun dalam satu narasi saja sampai akhirnya pada 1998 terbuka dan kita bisa mengakses hasil penelitian, saya sebagai koordinator membuktikan bahwa genosida terjadi dan maka dari itu saya menolak narasi tunggal sejarah,” ungkapnya dalam konferensi pers secara daring, Selasa (17/6).
Lebih lanjut, terkait dengan peristiwa kekerasan 1998 khususnya terkait pemerkosaan massal setelah 32 tahun berlangsung, tidak ada lanjutan dari rekomendasi TGPF sehingga hal ini menegaskan bahwa Indonesia tidak mau menindaklanjuti kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada 1998 khususnya terkait perkosaan massal.
“Saya kira pemerintah sangat tidak bertanggung jawab dan hanya memperpanjang imunitas sekian tahun dan sistem hukum pidana di Indonesia tidak pernah berjalan dengan sebagaimana diharapkan. Ketakutan yang terus menerus dibangun dan teror yang dilakukan baik pada pembela HAM dan pekerja kemanusiaan serta korban yang ditebarkan, itu ada recordnya, itu harus dilihat juga alasan korban tidak melapor ke polisi. Kalau gagal melihat hal ini dan malah mengatakan tidak terjadi pemerkosaan, Fadli Zon misleading,” ujar Nursyahbani.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa pernyataan Fadli Zon yang tidak meminta maaf dan meralat pernyataannya menunjukkan bahwa dirinya tidak memiliki empati, khususnya kepada para korban.
“Dia punya pandangan rasis di masa lalu dan pandangannya ke depan Indonesia itu pribumi muslim dan tidak ada Tionghoa. Itu wawancara terjadi sebelum kerusuhan Mei 1998. Secara langsung dia orang yang menciptakan rasisme sistemik di Indonesia. Jadi seharusnya menteri menyadari dalam perspektif kebudayaan bahwa seseorang yang mengalami ketidakadilan khususnya karena gendernya, mereka memerlukan perlindungan dan kepastian hukum,” kata Usman.
Dia juga membahas mengenai pernyataan Fadli Zon yang mempersoalkan kata massal dalam kasus perkosaan massal di 1998. Menurutnya dalam konteks pelanggaran HAM, massal ini artinya dilakukan secara sistematik oleh sekelompok orang terhadap sekelompok perempuan.
“Jadi di sini massal diambil dari kata meluas dan sistematik. Ini bisa diukur dari berbagai cara. Misalnya sebaran lokasi, waktu, jumlah korban, dan jumlah pelaku,” tegasnya.
Menurutnya penyangkalan terhadap kasus 1998 merupakan hal yang sangat serius dan tidak dapat diremehkan begitu saja. “Kita tahu di masa Orde Baru banyak kebijakan rasis yaitu asimilasi paksa. Seperti melarang penggunaan nama Tionghoa, mewajibkan orang Tionghoa punya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau SBKRI, tidak diperbolehkan menjadi pegawai negeri, dan lainnya,” ujar Usman.
Usman mencurigai bahwa pernyataan yang dikeluarkan oleh Fadli Zon bertujuan untuk menghapuskan sejarah dan membuat sejarah baru. “Kita tahu ada dua nama yang disebut dalam laporan TGPF yaitu Prabowo dan Sjafrie Sjamsoeddin. Jangan-jangan pernyataan ini untuk menghapuskan sejarah dan menggantikan dengan sejarah baru. Kalau itu mau dilakukan, saya kira itu harus dihentikan karena itu mengkhianati reformasi yang sudah diperjuangkan bangsa Indonesia dengan darah dan air mata,” tuturnya.
Senada, Anggota Koalisi Perempuan Indonesia, Eva Kusuma Sundari, menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah tidak boleh dilanjutkan karena sudah terbukti cacat secara sistem dan akan menghasilkan capaian yang buruk bagi bangsa.
“Menurut saya dari sisi legal dan legitimasi enggak sampai semua. Makanya saya mau ini dihentikan. Perempuan tidak boleh dihilangkan dari bagian sejarah. Ini saya melihat ada pembodohan dari sisi penyangkalan sejarah. Para korban ini ada wajahnya dan banyak lari ke berbagai negara karena tidak disembuhkan oleh negara. Ini akan terulang lagi karena sekarang enggak mau mengakui bahkan menegasikannya. Akan berulang terus karena kebenaran enggak bisa direduksi menjadi glorifikasi militer,” jelas Eva.
Menurutnya, presiden sebelumnya yaitu Gus Dur dan Habibie bahkan sudah mengakui terkait dengan kejadian ini dan bahkan meminta maaf. Untuk itu, penulisan ulang sejarah harus dihentikan.
Di lain pihak, Sejarawan dari Universitas Nasional (Unas), Andi Achdian, menekankan bahwa sejarah yang ditulis oleh pemerintah adalah tindakan whitewashing atau tindakan menutupi suatu kejahatan. Untuk itu, sebaiknya hal ini ditolak oleh seluruh pihak.
“Saya kira ada kesadaran etis yang harus kita pegang dalam proses penulisan sejarah. Tujuannya bagi generasi mendatang agar dapat memiliki pengetahuan supaya tidak mengulang kejadian yang sama di masa mendatang. Penulisan sejarah ini saya bilang secara tegas kita tolak saja,” tegas Andi.
Sementara itu, Ketua Presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Kanti W. Janis, meminta pemerintah untuk segera memberhentikan Fadli Zon dari jabatannya sebagai pejabat publik karena pernyataan yang sudah dia utarakan.
Dia pun menganggap bahwa penulisan ulang sejarah ini hanya menjadi langkah pemerintah untuk menghapus rentetan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Air.
“Padahal syarat menjadi negara maju adalah negara yang mau membuka sejarah masa lalunya. Seperti Jerman saja negara maju dia mau membuka terkait Hitler dan genosida yang dilakukannya,” tandas Kanti. (H-3)
KOALISI Masyarakat Sipil mengecam keras pernyataan Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyatakan bahwa tidak ada bukti dalam pemerkosaan massal Mei 1998.
Kerusuhan yang melanda berbagai kota besar bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan ekonomi, tetapi juga trauma sosial yang mendalam.
Pegiat HAM Perempuan Yuniyanti Chizaifah menegaskan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998
Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebutkan pemerkosaan saat Tragedi Mei 1998 hanya rumor dan tidak ada bukti diminta minta maaf atas pernyataannya
UPAYA Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunaikan janji menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu dinilai belum maksimal.
Proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia ini sangat problematik dan potensial digunakan oleh rezim penguasa untuk merekayasa dan membelokkan sejarah sesuai dengan kepentingan rezim.
Fadli Zon mengatakan sensitivitas seputar terminologi pemerkosaan massal harus dikelola dengan bijak dan empatik.
Ini jawaban Menteri Kebudayaan Fadli Zon usai banyak dikritik akibat pernyataannya soal pemerkosaan Mei 1998.
KETUA DPP PDI Perjuangan (PDIP) Djarot Saiful Hidayat merespon soal rencana penghapusan terminologi Orde Lama dalam penulisan ulang sejarah versi pemerintah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved