Headline

Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Penujukkan Penjabat di Daerah Otonomi Khusus dan Istimewa Berpotensi Timbulkan Masalah

Indiryani Astuti
18/2/2022 18:42
Penujukkan Penjabat di Daerah Otonomi Khusus dan Istimewa Berpotensi Timbulkan Masalah
Ilustrasi penjabat kepala daerah(Ilustrasi)

PEMERINTAH berencana akan mengisi kekosongan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023 dengan penjabat yang berasal dari aparatur sipil negara (ASN). Menanggapi rencana itu, para guru besar dan akademisi berpendapat penunjukkan penjabat berpotensi menimbulkan masalah terutama di daerah dengan status otonomi khusus (Otsus) dan istimewa seperti Aceh, Papua dan Yogyakarta. 

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sekaligus Pendiri Institut Otonomi Daerah (I-OTDA) Djohermansyah Djohan mengatakan hal itu merupakan kemunduran otonomi daerah. 

"Penjabat tidak cocok dengan aturan main otonomi khusus," ujarnya dalam diskusi media, Jumat (18/2). 

Ia menjelaskan, di Provinsi Aceh, gubernur terpilih merupakan tokoh yang ikut serta dalam politik lokal. Begitu pula untuk Provinsi DKI Jakarta, gubernur yang terpilih harus meraih suara mayoritas yakni 50 persen plus satu. Sementara di Provinsi Papua Barat, ada aturan bahwa gubernur harus berasal dari orang asli papua (OAP) dan penunjukkannya melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP). 

Lalu di Yogyakarta, imbuhnya, gubernur dijabat oleh Sultan yang merupakan keturunan keraton. Artinya mereka punya legitimasi kuat. Djoe khawatir apabila penjabat diangkat dari kalangan ASN, menurutnya mereka rentan dipolitisasi dan pemerintahan di daerah berpotensi tidak efektif. 

Senada, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan pengangkatan penjabat kepala daerah oleh pemerintah pusat menunjukkan gejala resentralisasi. Hal itu, menurutnya berbahaya karena berpotensi menimbulkan kegaduhan akibat pemerintah pusat punya kewenangan terlalu besar. 

"Ini menimbulkan ketidakpuasan sosial dan politik. Berbahaya ke depan. Kalau resentralisasi mengorbankan otonomi daerah yang susah-payah diperjuangkan," tegasnya. 

Baca juga : KSP: Jabatan Kepala Otorita IKN Setingkat Menteri

Penunjukkan penjabat menurutnya juga menghilangkan kedaulatan rakyat. Pasalnya kepala daerah yang habis masa jabatannya dipilih langsung oleh rakyat. Berbeda dengan penjabat dari ASN. "Lenyapnya demokrasi di tingkat lokal," tuturnya 

Pada kesempatan yang sama, Peneliti Senior the Centre for Strategic of International Studies (CSIS) J. Kristiadi mengatakan penunjukkan penjabat gubernur di Provinsi Papua Barat, dikhawatirkan tidak hanya menganggu stabilitas pembangunan. 

Tetapi juga memicu masalah keamanan. Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan, yang menjabat saat ini, ujar Kristiadi, berasal dari Suku Arfak. Sehingga ia dapat meredam konflik antarsuku yang kerap terjadi di Papua. Kristiadi khawatir jika penjabat gubernur nantinya tidak mengerti dan tidak punya kompetensi situasi kebatinan masyarakat Papua. 

"Masalah keamanan sangat akut di Papua dan terjadi setiap hari. Tiba-tiba penjabat asal diangkat karena kepentingan akan melukai lebih dalam masyarakat Papua," tegasnya. 

Adapun Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan pemerintah bisa memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang saat ini sedang menjabat. Dengan demikian, hingga pilkada 2024 digelar, mereka bisa melanjutkan program pembangunan yang telah dijalankan. 

Terdapat 101 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 171 kepala daerah berakhir masa jabatananya pada 2023. Jabatan kepala daerah di 272 daerah ini akan kosong hingga Pilkada serentak digelar pada 2024. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya