Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
DIREKTUR Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi mengatakan perlu ada penjernihan pemahaman masyarakat dalam memaknai terminologi islamofobia, yaitu ketakutan sangat berlebihan terhadap Islam atau penganut Islam, yang sering dipakai oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk memojokkan pemerintah dan memecah belah umat.
"Islamofobia ini deskripsi sosiologis terhadap gejala, bagaimana orang-orang mayoritas barat memandang Islam sebagai ancaman. Islamofobia tidak ada di Indonesia. Ini kekeliruan representasi," katanya seperti dilansir Antara di Jakarta, Jumat (11/2).
Menurut Mujtaba, fenomena islamofobia muncul akibat adanya sebagian kecil kelompok muslim, yang menyalahgunakan ajaran agama Islam untuk melakukan tindak kekerasan dan kebencian terhadap mereka yang berbeda pandangan.
Selain itu, tambahnya, ketakutan berlebihan terhadap Islam itu juga dijadikan alasan untuk melakukan teror, sehingga menggeneralisasikan umat Islam sebagai ancaman.
"Di Indonesia, penggunaan term islamofobia justru bertujuan untuk membela perilaku kekerasan atau kebencian terhadap yang lain, yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam. Jadi ini ada fenomena kebalikan," jelasnya.
Mujtaba menyayangkan fenomena tersebut, terlebih kelompok radikal memang cenderung sering melakukan playing victim ketika dikritik atas tindakan mereka yang menyebarkan kebencian atas nama ajaran agama.
"Mereka menggunakan terminologi islamofobia untuk menjustifikasi kebencian terhadap orang lain. Ketika di kritik (atas perbuatannya), mereka malah playing victim," ungkapnya.
Ia menegaskan sejatinya yang menuai kritik tersebut bukanlah Islam sebagai sebuah agama, namun oknum yang mengatasnamakan Islam. Hal inilah, yang menurutnya, harus dipahami oleh masyarakat.
"Bukan Islam-nya, tapi tindakan mereka itulah yang harusnya dikritik," tegasnya.
Baca juga: Akademisi Sebut Islamofobia Upaya Framing untuk Memojokkan Pemerintah
Namun demikian, Mujtaba melihat adanya permainan psikologis yang dimainkan oleh kelompok radikal, sebagai upaya untuk menimbulkan perpecahan dan memojokkan pemerintah atas kebijakan yang dibuat.
"Pertama, menggunakan terminologi persatuan umat. Kedua, islamofobia ini adalah defense mechanism mereka, ketika mereka dikritik atas perbuatannya," tuturnya.
Pola pergerakan kelompok radikal tersebut, lanjutnya, dengan menciptakan ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Lalu dilanjutkan dengan meminta pembelaan atas nama kesatuan umat Islam. Puncaknya adalah dengan menganggap siapa pun yang tidak membela dan mengkritik adalah islamofobia.
"Padahal di Indonesia sendiri tidak ada gejala sosial yang merujuk pada praktik islamofobia. Muslim, sebagai mayoritas, justru sangat difasilitasi oleh negara," jelasnya.
Dia mengatakan selama ini pemerintah, dengan segala sumber daya yang ada, sangat memfasilitasi, baik muslim maupun seluruh penganut agama lain, untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya masing-masing.
"Bagaimana pemerintah islamofobia kalau pemerintah juga banyak memfasilitasi umat Islam, dari mulai urusan haji, memberi pendanaan untuk tempat ibadah, bahkan pendidikan juga difasilitasi, dan lain sebagainya," tuturnya.
Jebolan Pascasarjana Antropologi dari FISIP UI itu menilai perlu adanya strategi konkret dan efektif untuk memberantas oknum yang kerap menyalahartikan istilah Islamofobia untuk membuat kericuhan di tengah masyarakat.
"Perlu edukasi publik untuk memperlihatkan sesungguhnya seperti apa gejala yang merujuk pada islamofobia, agar tidak digunakan di luar konteksnya," ujarnya. (Ant/S-2)
Apabila ada seseorang yang memiliki kesulitan untuk mengendalikan ketakutan akan kematian disarankan agar segera berkonsultasi ke dokter.
Obat kortikosteroid berperan penting dalam pengobatan eksim. Namun ada sebagian pasien/keluarga menolaknya karena fobia steroid.
Cendikiawan Muslim Indonesia M Quraish Shihab mengatakan tantangan terbesar umat beragama saat ini adalah fobia terhadap agama, sehingga membuat orag terancam mengalami kekeringan rohani.
Ternyata ada beberapa orang yang memiliki fobia terhadap pekerjaan atau tempat kerja. Kondisi ini dikenal dengan istilah ergophobia.
Menurut Nasaruddin, kelompok radikal kerap memutarbalikkan narasi yang menggiring opini masyarakat, seakan-akan Pemerintah telah melakukan praktik islamofobia.
Tidak ada kebencian antara satu agama dengan agama lain, seperti Islamofobia di Indonesia karena bangsa ini memiliki Pancasila yang mempersatukan segala perbedaan.
FPHW secara tegas menolak berkembangnya organisasi masyarakat yang teridentifikasi dan menganut paham intoleransi, radikalisme dan terorisme.
Pancasila dan khilafah tidak bisa hidup berdampingan di Indonesia. Salah satunya harus dikorbankan.
SOSOK Prof Yudian Wahyudi menjadi salah satu lulusan pesantren yang berhasil di dunia akademik. Dari Pesantren Termas di Pacitan, Jawa Timur.
KARENA Indonesia negara multikultural, munculnya potensi radikalisme menjelang pilkada serentak 9 Desember 2020 masih sangat tinggi.
Paham radikalisme tumbuh subur di masyarakat karena tidak sedikit orang yang baru belajar agama tidak mampu menafsirkan ilmu itu dengan baik.
Kelompok teroris tersebut bahkan telah melakukan penggambaran untuk serangan tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved