Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat atau bertentangan dengan UUD 1945 dan meminta pembuat undang-undang melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun. Hal itu ditegaskan Mahkamah dalam sidang pembacaan putusan uji formil UU Cipta Kerja terhadap UUD 1945 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11).
"Menyatakan pembentukan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan," ucap Hakim Konstitusi Anwar Usman selaku ketua majelis untuk perkara No.91/PUU-XVII/2020.
Baca juga: Anggota DPR RI Harap Revisi UU ITE Dapat Hapus Pasal Multitafsir
Pada putusan itu, Mahkamah juga menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, masih tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam putusan MK. Selain itu, pembentuk UU diperintahkan melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan dibacakan. Apabila tidak dilakukan perbaikan, maka UU 11/2020 menjadi inkonstitusional secara permanen.
Lalu, apabila dalam waktu 2 tahun pembentuk UU tidak dapat menyelesaikan perbaikan, Mahkamah menegaskan UU atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah oleh UU No.11/2020 harus dinyatakan berlaku kembali dan pemerintah tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Para pemohon yang terdiri dari Hakimi Irawan, Ali Sujito, Muhtar Said, Migrant Care, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau mendalilkan
pembentukan UU 11/2020 dengan metode Omnibus Law menimbulkan ketidakjelaskan apakah UU tersebut UU baru atau UU pencabutan. Mahkamah mempertimbangkan, bahwa pembentukan UU Cipta Kerja harus menggunakan metode yang pasti, baku, dan standar yang sudah ditentukan sebagaimana diatur Pasal 44 dan Pasal 64 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Sehingga baik penyusunan naskah akademik, maupun rancangan UU dilakukan menurut Mahkamah harus sesuai teknik yang telah ditentukan sesuai azas aturan perundang-undangan," ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan Mahkamah.
Sehingga menurut Mahkamah, terang Enny, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, tidak sejalan dengan rumusan baku atau standar baku dalam peraturan pembentukan perundang-undangan karena tidak jelas format UU Cipta Kerja merupakan UU baru atau UU perubahan.
Adapun alasan pembentuk undang-undang mengenai persoalan lamanya waktu dalam membentuk suatu UU, menurut Mahkamah tidak dapat dijadikan dasar untuk menyimpangi UUD 1945 yang telaj memerintahkan mengenai tata cara pembentukan suatu UU.
Meskipun secara pembentukannya Mahkamah menganggap UU Cipta Kerja melanggar UUD 1945, tetapi Enny menegaskan bukan berarti Mahkamah mengesampingkan aspek substansi yang telah disusun dalam UU 11/2020.
Hanya saja, menurut Mahkamah adanya persoalan dalam tata cara dan teknis pembentukan UU, akan berdampak pada tidak tertib hukum pembentukan suatu peraturan.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menambahkan, terkait metode Omnibus Law yang menurut pemohon tidak diatur dalam UU 12/2011, Mahkamah berpendapat teknik atau metode apapun yang digunakan pembuat UU dalam upaya penyederhanaan bukan persoalan konstitusional, sepanjang metode tersebut dilakukan dalam koridor pedoman, dan standar serta dituangkanalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
"Metode ini tidak dapat digunakan selama belum diadopsi dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," tegasnya.
Mengenai dalil lain dari para pemohon mengenai adanya perubahan materi muatan rancangan UU Cipta Kerja yang telah disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan Mahkamah menemukan fakta dalam persidangan bahwa ada kesalahan pengutipan dalam beberapa pasal. Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menegaskan Mahkamah melihat penerapan standar pembentukan perundang-undangan secara akumulatif. Jika satu standar saja tidak terpenuhi dalam semua tahapan, ia menegaskan sebuah UU dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Atas dasar alasan-alasan tersebut, menurut Mahkamah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional.
Pada sidang itu, terdapat empat hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda yakni Hakim Konstitusi Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic F. Foekh, dan Manahan Sitompul. (OL-6)
PENAIKAN rerata Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang ditetapkan pemerintah sebesar 6,5% tak akan berdampak banyak pada peningkatan kesejahteraan buruh atau masyarakat
Pihaknya bakal mematuhi hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 168/PUU-XX1/2023 yang memerintahkan agar kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari Undang-Undang Cipta Kerja
Kenaikan upah pada 2025 diyakini akan menentukan perekonomian di tahun depan.
Terdapat beberapa hal yang dibicarakan dari dialog tersebut, di antaranya terkait tidak adanya kewajiban untuk menetapkan kenaikan upah minimum 2025 pada 21 November 2024
Aturan mengenai upah minimum pekerja belum dapat dipastikan kapan akan terbit. Itu karena formulasi penghitungan upah masih dalam pembahasan.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Putih Sari menyambut baik sikap pemerintah yang responsif terhadap putusan MK soal UU Cipta Kerja
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved