Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Revisi UU ITE Diharapkan Perhatikan Kebebasan Berpendapat

Putra Ananda
27/6/2021 16:49
Revisi UU ITE Diharapkan Perhatikan Kebebasan Berpendapat
UU ITE(Ilustrasi)

PEMERINTAH memutuskan bakal merevisi empat pasal dan menambahkan satu pasal baru dalam Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). DPR pun menyatakan siap mengakomodir usulan pemerintah melalui evaluasi tengah tahun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes berharap revisi UU ITE tidak mengesampingkan aspek kebebasan berbicara dan berpendepat secara terbuka. Revisi UU ITE diharapkan dapat meningkatkan peringkat kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi di Tanah Air.

"Setelah cukup lama berkembang ini saya kira waktu yang tepat untuk menyeriusi revisi UU ITE, salah satu tujuannya untuk memperbaiki rating demokrasi kita sehingga pulik tidak merasa khawatri lagi menyampaikan pandanganya," tutur Arya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (27/6).

Baca juga : Wacana 3 Periode disebut Mirip Era Orde Baru

Menurut Arya, adanya pasa-pasal karet dan multitafsir dalam UU ITE membuat kebebasan berbicara dan berekspresi mengalami penuruna. Publik semakin khawatir menyampaikan pendapatnya secara terbuka, terlebih ketika adanya perbedaan pendapat yang berujung saling lapor di kepolisian.

"Begitupun juga misalnya dalam beberapa kasus terjadi pemidanaan karena orang berbeeda pendapat. Dua hal tersebut itu mempengaruhi rating demokrasi kita di tingkat global," ungkapnya.

Terkait rencana pemerintah yang akan memasukkan pasal 45 C dalam revisi UU ITE yang mengatur tentang penyebaran berita bohong, Arya menyebut pemerintah perlu memberikan definisi yang jelas tentang apa itu yang dimaksud dengan informasi bohong. Hal tersebut dibutuhkan agar pasal 45 C tidak lagi menjadi pasal karet yang multitafsir.

"Mengenai informasi bohong ini, dalam revisi harus dijelaskan apa yang dimaksud dengan informasi bohong tersebut agar tidak ada lagi kasus multitafsir," paparnya. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik