Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pengamat : Pengusaha Ambil Peran Shadow Goverment

Tri Subarkah
05/6/2021 13:40
Pengamat : Pengusaha Ambil Peran Shadow Goverment
Guru Besar Ilmu Administrasi Publik UI Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ. (kedua dari kanan) memberikan paparannya di suatu seminar.(MI/Adam DP)

ETIKA dalam pemerintahan di Indonesia sulit ditegakkan dengan munculnya pengusaha yang mengambil peran sebagai shadow government. Mereka telah mengkooptasi proses politik yang berkelindan dengan proses hukum maupun proses birokrasi.

Demikian disampaikan pakar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ, dalam seminar nasional yang digelar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) di Jakarta. Menurut Eko, shadow government turut menciptakan virus yang disebutnya sebagai oligarki di Indonesia.

"Virus oligarki ini yang menjadi sebab penyakit birokrasi, karena merusak sel-sel organ negara. Ini pertautan antara sistem politik, sistem hukum, dan sistem birokrasi," kata Eko dalam seminar bertajuk 'Quo Vadis Etika Pemerintahan di Indonesia', Sabtu (5/6).

Ketua Dewan Pakar Pengurus Pusat MIPI itu menjelaskan sistem politik di Indonesia tidak memiliki platform ideologi dan kaderisasi yang jelas. Selain itu ongkos politik juga terbilang mahal. Alasan itulah yang menyebabkan proses pemilihan politik tidak dilandasi etika.

Lebih lanjut, ia mengatakan sistem penegakan hukum yang masih lemah. Menurut Eko, kultur dan struktur hukum Indonesia yang buruk turut diperparah dengan lemahnya sistem birokrasi, misalnya rencana soal Revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Sekarang proses pengisian jabatan dilakukan secara terbuka dan kompetitif, diawasi oleh KASN. Itu banyak yang enggak rela karena enggak bisa milih orangnya sendiri, tidak bisa memberhentikan orang yang tidak disukai secara semena-mena," papar Eko.

"Ini kekuatan modal juga bermain di sini, bagaimana UU bisa didesain sesuai keinginan mereka," tandasnya.

Dalam kesempatan yang sama, pakar Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoenesia (LIPI) R. Siti Zuhro menyoroti dinamika sistem politik demokrasi Indonesia sejak reformasi sampai saat ini belum sepenuhnya berhasil melembagakan pemerintahan yang efektif.

Ia menilai model transisi demokrasi tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi.

"Ini yang membuat kita terpontang-panting dengan sistem demokrasi prosedural, jadi kata-katanya saja demorkasi, tapi kita bertopeng," ujar Siti.

Padahal, demokrasi yang sudah berjalan secara substansial dapat memperkokoh penerapan etika di dalam pemerintahan. Menurut Siti, etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para pejabat maupun ASN.

Etika pemerintahan, lanjutnya, penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien karena masalah yang dihadapi saat ini semakin kompleks. Salah satunya ditandai dengan moderintas masyarakat yang melaharikan berbagai masalah publik.

"Belum lagi ditambah dengan realitas saat ini di mana bangsa Indonesia sedang menghadapi era new normal dan disrupsi yang sarat dengan ketidakpastian," jelasnya.

Dalam pemaparannya, Siti menyebut etika pemerintahan memberi amanat pejabat untuk memiliki rasa kepedulian yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik. Konsekuensinya adalah melahirkan pemerintahan demokratis.

"Yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang, serta menjunjung tinggi HAM," pungkas Siti. (Tri/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya