Koalisi Masyarakat Sipil Dukung Revisi UU ITE

 Dhika Kusuma Winata
16/2/2021 18:22
Koalisi Masyarakat Sipil Dukung Revisi UU ITE
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) Damar Juniarto.(MI/Ramdani)

KOALISI Masyarakat Sipil mendukung pernyataan Presiden Joko Widodo yang membuka peluang revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Koalisi berharap pernyataan Presiden bisa ditindaklanjuti dengan langkah konkret dan tak sebatas wacana.

"Koalisi menyatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan jika pemerintah ingin serius mengubah UU ITE. Pertama, seluruh pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus," ungkap Koalisi Masyarakat Sipil dalam rilis pernyataan sikapnya, Selasa (16/2).

Koalisi tersebut terdiri dari ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFE Net, YLBHI, Kontras, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, Leip, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan Walhi.

Dalam pernyataannya, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Jokowi dan DPR untuk mencabut semua pasal-pasal karet lantaran kerap menjadi alat mengkriminalisasi ekspresi dan pendapat masyarakat.

Laporan yang dihimpun Koalisi menunjukkan sejak 2016 sampai Februari 2020, kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi yakni mencapai 88% (676 perkara).

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) Damar Juniarto mengungkapkan ada sembilan pasal bermasalah dalam UU ITE yang perlu dihapus dan direvisi. Ia menyebut Pasal 27 hingga Pasal 29 UU ITE harus dihapus karena rumusannya multitafsir atau karet dan terdapat persoalan duplikasi hukum.

Kesembilan pasal bermasalah itu yakni Pasal 26 Ayat 3 tentang penghapusan informasi tidak relevan. Pasal ini dinilai bermasalah lantaran mengandung sensor informasi. Kemudian, Pasal 27 Ayat 1 tentang asusila yang dinilai rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender.

Lalu, Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi atau penghinaan. Pasal itu dianggap rentan digunakan untuk represi ekspresi yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden. Kemudian, Pasal 28 Ayat 2 tentang ujaran kebencian yang dinilai rentan sebgaai alat represi minoritas agama dan juga kritik kepada presiden, polisi, atau pemerintah.

Lalu, ada Pasal 29 tentang ancaman kekerasan yang dianggap rentan dipakai untuk mempidana orang yang ingin melapor ke polisi. Kemudian, Pasal 36 tentang kerugian kerap digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.

Lalu, Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang muatan yang dilarang dianggap rawan dijadikan dasar bagi pemerintah memutus jaringan internet atau shutdown dengan alasan penyebaran hoaks. Berikutnya, Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang pemutusan akses internet yang menegaskan peran pemerintah diutamakan ketimbang putusan pengadilan dalam soal internet shutdown.

Terakhir, Pasal 45 Ayat 3 tentang ancaman lenjara tindakan defamasi dinilai bermasalah karena membolehkan penahanan dalam penyidikan. (Dhk/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya