Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Ini Alasan KPK tak Gunakan Pasal 2 untuk JPB

Cahya Mulyana
07/12/2020 08:25
Ini Alasan KPK tak Gunakan Pasal 2 untuk JPB
Menteri Sosial Jualiari Peter Batubara berjalan keluar seusai menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)(MI/Susanto)

TUNTUTAN penerapan hukuman mati terhadap pelaku korupsi di tengah pandemi covid-19 menyeruak. Teranyar, saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Sosial Juliari Peter Batubara karena diduga menerima suap pengadaan bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek untuk penanganan covid-19 tahun 2020.

Perkara yang dilakukan dengan cara penyelidikan tertutup seperti Operasi Tangkap Tangan (OTT) fokus pada unsur tindak pidana suap bukan kerugian negara. Dengan demikian, pasal yang dikenakan 12 atau 5 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan Pasal 2 atau 3 dengan ancaman tertinggi hukuman mati.

"Sejak KPK berdiri penyelidikan tertutup itu produknya adalah Pasal 12, pasal suap. Ini adalah penyelidikan tertutup, maka diterapkannya Pasal 12 atau Pasal 5," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12).

Menurut dia, penerapan Pasal 12 atau 5 dalam kasus tangkap tangan atau OTT bukan karena terkendala waktu. Namun alasan utamanya karena praktik yang terungkap mengenai suap-menyuap.

"Bahwa kemudian penyelidikan tertutup adalah penerimaan maka dari suap, ini kan berbeda nanti ketika (penyelidikan terbuka). Suap kan salah satu sarananya, kemudian objeknya apa adalah pengadaan bansos," jelasnya.

Baca juga: KPK Dalami Penerapan Pasal Hukuman Mati untuk Tersangka Bansos

Ia mengatakan pengembangan kasus ini sangat mungkin masuk ke ranah penyelidikan terbuka dengan mencari nilai kerugian negara. Bila itu memungkinan dengan dugaan yang kuat maka bisa mendalaminya dengan Pasal 2 atau 3.

"Dalam perjalanannya sangat dimungkinkan bisa dilakukan penyelidikan terbuka. Nah penyelidikan terbuka endingnya adalah Pasal 2 atau Pasal 3 dan itu banyak yang terjadi seperti itu," ujarnya.

Ali menuturkan perkara suap tidak dapat ditarik langsung ke unsur kerugian negara. Perkara utamanya akan dikembangkan terlebih dulu, ketika terdapat unsur lain maka dimungkinan penyelidikan terbuka.

"Baru terbuka. Penyelidikan terbuka untuk misalnya unsur Pasal 2 atau Pasal 3. Ada kerugian negara atau tidak, ada melawan hukumnya tidak, kalau melanggar hukum setidaknya melanggar kewajiban tidak," pungkasnya.

JPB ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan bansos sembako covid-19 di Jabodetabek pada 2020. Kasus ini menjerat empat tersangka lain, yakni dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemensos Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso, serta pihak swasta Ardian IM dan Harry Sidabuke.

JPB diduga menerima Rp17 miliar dari dua periode pengadaan bansos tersebu. Kasus ini terungkap dari tangkap tangan dengan barang bukti uang Rp14,5 miliar.

JPB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

MJS dan AW disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sementara itu, AI dan HS disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya