MENTERI Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mendukung upaya lembaga The United Kingdom’s Serious Fraud Office (SFO) yang mengadakan investigasi terhadap perusahaan Bombardier. Hal ini berkaitan dengan dugaan kasus suap kontrak penjualan pesawat dengan Garuda Indonesia.
"Kami di Kementerian BUMN sangat mendukung untuk penindak-lanjutan masalah hukum di Garuda karena ini merupakan bagian dari Good Corporate Governance dan transparasi yang dijalankan sejak awal," jelas Erick saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (5/11).
Erick akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam penanganan kasus Garuda Indonesia.
"Kemenkumham membantu kami dalam melakukan revisi kontrak melalui mutual legal assistance," tutur Erick.
Investigas SFO ini berkaitan dengan kasus korupsi terdakwa mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar. Ia terlibat dalam kasus dugaan suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat Airbus dan Rolls Royce pada maskapai Garuda Indonesia
Emir diduga menerima suap dalam bentuk transfer uang dan aset yang nilainya mencapai lebih dari US$4 juta atau setara dengan Rp52 miliar dari perusahaan asal Inggris, Rolls-Royce, di antaranya melalui pendiri PT MRA Group Soetikno Soedarjo dalam kapasitas sebagai Beneficial Owner Connaught International Pte Ltd.
Baca juga: Dugaan Korupsi Bombardier-Garuda Indonesia Diselidik KPK Inggris
Dilansir Aerotime, saat ini, Garuda mengoperasikan 18 jet regional Bombardier CRJ-1000. Kesepakatan untuk memperoleh pesawat diselesaikan selama Singapore Airshow pada Februari 2012, di mana maskapai penerbangan tersebut pada awalnya setuju untuk memperoleh enam pesawat CRJ-1000, dengan opsi untuk menerima pengiriman 12 jet tambahan. Kesepakatan itu bernilai US$ 1,32 miliar dengan harga jual, baca pengumuman Bombardier saat itu.
Kemudian, Garuda Indonesia menerima pengiriman jet regional pertama buatan Kanada pada Oktober 2012. Bombardier mengirimkan CRJ1000 terakhir ke maskapai pada Desember 2015.
Pada Mei 2020, Emir dijebloskan dalam penjara karena tuduhan suap dan pencucian uang terkait pembelian pesawat dari Airbus dan mesin dari Rolls-Royce. Selain hukuman delapan tahun, mantan eksekutif itu juga didenda US$ 1,4 juta.(OL-5)