Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

PSHK UII ungkap ketidaksinkronan dalam UU Cipta Kerja

Agus Utantoro
03/11/2020 21:25
PSHK UII ungkap ketidaksinkronan dalam UU Cipta Kerja
Unjuk rasa menolak Omnibus law UU Cipta Kerja.(Antara)

PUSAT Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia menyatakan meski Presiden Joko Widodo telah mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Namun, PSHK mencatat bahwa UU Cipta Kerja masih mengandung beberapa persoalan serius dari segi perundang-undangan.

Demikian disampaikan Direktur PSHK UII  UII Allan FG Wardhana dan Kepala Bidang Riset dan Edukasi PSHK UII Ahmad Ilham Wibowo, di Yogyakarta, Selasa (3/11). Menurut kajian PSHK UII UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan.

Hal ini, kata Allan, karena UU Cipta Kerja mengandung beberapa ketidaksinkronan materi muatan antara pasal dengan  pasal maupun di dalam pasal itu sendiri.

"Ketentuan Pasal 6 UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi penerapan perizinan berusaha berbasis risiko, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, penyederhanaan perizinan berusaha sektor dan penyederhanaan persyaratan investasi.  Padahal, UU Cipta Kerja sama sekali tidak memuat adanya pasal 5 ayat (1) huruf a. UU Cipta Kerja hanya memuat adanya pasal 5 yang menyatakan ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait," ungkapnya, Selasa (3/11).

Adanya ketidaksinkronan tersebut, jelas dia, menyebabkan tindakan penerapan perizinan berusaha berbasis risiko, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, penyederhanaan perizinan berusaha sektor dan penyederhanaan persyaratan investasi yang menjadi norma utamanya karena menjadi landasan dilakukannya perubahan dalam beberapa undang-undang lain dalam UU Cipta Kerja menjadi tidak memiliki dasar hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dikatakan, ketentuan pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 53 sepanjang ayat (5) UU 30 Tahun 2014 (UU Administrasi Pemerintahan) yang menyatakan bahwa,  ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Padahal, ujarnya, pengaturan terkait keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum akibat dari asas fiktif positif tersebut tidak diatur dalam ayat (3), namun diatur dalam ayat (4) yang menyatakan apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

Adanya ketidaksinkronan materi muatan tersebut, tambahnya, menyebabkan UU Cipta Kerja tidak memenuhi, asas ketertiban dan kepastian hukum yang menyatakan bahwa setiap materi muatan undang-undang harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum,
dan asas kejelasan rumusan yang menyatakan bahwa setiap materi muatan undang-undang harus memenuhi syarat teknis penyusunan undang-undang serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam intepretasi dalam pelaksanaannya.

UU Cipta Kerja, imbuhnya juga melanggar ketentuan pasal 72 dan 73 UU 12 Tahun 2011 Draft RUU Cipta Kerja yang disahkan dan diundangkan berjumlah 1.187 halaman, berbeda dengan draft RUU Cipta Kerja yang diserahkan ke Presiden yakni berjumlah 812 halaman.

Adanya perbedaan halaman ini menurut para pakar tersebut mengindikasikan bahwa Draft RUU Cipta Kerja yang disahkan dan diundangkan bukan draft RUU Cipta Kerja yang diserahkan kepada Presiden sehingga dimungkinkan adanya perbaikan/penambahan terhadap draft RUU Cipta Kerja tersebut.

"Padahal, pasal 72 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa kesempatan perbaikan terhadap Draft RUU hanya bisa dilakukan paling lama 7 hari pasca dilakukannya persetujuan bersama antara Presiden dengan DPR sebelum diserahkan ke Presiden," katanya.

Perbaikan itupun, lanjutnya,  hanya yang berkaitan dengan teknis penulisan RUU ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan UU oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia, dan bukan perubahan substansi.

"Baik mengganti ayat, huruf, kata, frasa maupun kalimat," jelasnya lagi.

Berdasarkan uraian di atas, maka PSHK FH UII menyatakan bahwa UU Cipta Kerja mengandung problem serius sehingga proses pengujian formil UU Cipta Kerja ke MK harus dikawal. UU Cipta Kerja harus dinyatakan batal demi hukum.

Hal itu, ungkapnya dengan pertimbangan sejak disahkan, draft UU muncul banyak versi dengan berbagai jumlah halaman yang berbeda-beda dan sulit diakses oleh publik, banyak terjadi perubahan susbtansi ketika UU sudah disahkan, padahal setiap UU yang sudah disahkan tidak dimungkinkan lagi adanya perubahan substansi.

"Pembuatan UU ini minim partisipasi publik, padahal setiap pembentukan UU harus melibatkan partisipasi publik dan pula berbagai pasal dalam UU Ciptaker banyak yang tidak sinkron sehingga bertentangan asas kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan," ungkapnya. (OL-13)

Baca Juga: Ini Empat Manfaat UU Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya