KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dinyatakan melanggar kode etik karena menggunakan helikopter mewah untuk perjalanan pribadi.
Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan sanksi ringan yang dijatuhkan Dewan Pengawas (Dewas) KPK kepada Firli.
"Putusan Dewas KPK ini menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis II kepada Ketua KPK Firli Bahuri, patut dipertanyakan," pungkas Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Kamis (24/9).
ICW menilai tindakan Firli yang menggunakan transportasi mewah sudah memasuki unsur sanksi berat, yakni rekomendasi pengunduran diri sebagai pimpinan KPK. Selain itu, ICW juga memberikan lima catatan atas putusan Dewas KPK yang menjatuhkan sanksi ringan.
Baca juga: Divonis Bersalah Langgar Kode Etik, Ketua KPK Minta Maaf
Pertama, alasan Dewas KPK yang menyebut Firli tidak menyadari pelanggaran, dinilai tidak masuk akal. Sebagai Ketua KPK, semestinya Firli memahami dan mengimplementasikan Peraturan Dewas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku.
"Apalagi, tindakan Firli itu juga berseberangan dengan nilai integritas yang sering dikampanyekan KPK. Salah satunya tentang hidup sederhana," imbuh Kurnia.
Kedua, Dewas KPK dinilai tidak menimbang kasus etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan pada 2018 lalu. Kala itu, ICW melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK atas dugaan bertemu dengan pihak berperkara di KPK.
Baca juga: Kontribusi Belum Optimal, KPK Dorong Penertiban Aset Negara
"Pada September 2019, KPK mengumumkan Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik. Bahkan, saat itu dijatuhkan sanksi pelanggaran berat. Sementara dalam putusan terbaru, Dewas KPK menyebut Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik," paparnya.
Ketiga, ICW menilai Dewas KPK luput melihat tindakan Firli, yang menggunakan transportasi mewah sebagai rangkaian berbagai kontroversi. Keempat, ICW juga memandang putusan Dewas KPK terhadap Firli sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang semakin terpuruk. Kelima, Dewas KPK dinilai lemah dalam mengawasi etika pimpinan dan pegawai KPK.
"Semestinya, Dewas KPK dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter mewah,” tandas Kurnia.(OL-11)