Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Masalah Usia dan Kesehatan Seharusnya tak Jadi Pertimbangan untuk Meringankan Vonis Zarof Ricar

Devi Harahap
19/6/2025 15:39
Masalah Usia dan Kesehatan Seharusnya tak Jadi Pertimbangan untuk Meringankan Vonis Zarof Ricar
Eks pejabat MA, Zarof Ricar (kanan) dan Meirizka Widjaja memasuki ruang sidang(MI/Usman Iskandar)

MANTAN pejabat Mahkamah Agung (MA) yang juga dikenal sebagai makelar kasus, Zarof Ricar, telah divonis hukuman penjara 16 tahun karena terbukti bersalah melakukan permufakatan jahat dan menerima gratifikasi terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam kasus kematian Dini Sera Afrianti.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menilai, vonis itu terlalu ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) maksimal 20 tahun penjara dan tidak memenuhi rasa keadilan di masyarakat.

“Alih-alih menjatuhkan pidana sesuai tuntutan jaksa, majelis hakim menjatuhkan pidana hanya 16 tahun penjara. Alasan hakim dalam menjatuhkan pidana lebih ringan dari tuntutan jaksa juga dirasa kurang rasional,” kata Wana kepada Media Indonesia pada Kamis (19/6).

Menurut Wana, penuntut umum yang menuntut 20 tahun penjara sudah cukup memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Namun sayangnya, vonis yang dijatuhkan lebih rendah. 

“Sebab Zarof Ricar telah menjadi ‘pintu masuk’ dari berbagai gratifikasi dan suap untuk hakim, yang berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat,” jelasnya. 

Wana menilai, alasan kesehatan dan usianya terdakwa yang tergolong lansia, tidak sepatutnya dijadikan pertimbangan untuk mengurangi vonis hukuman. 

“Hal tersebut seharusnya tidak dijadikan pertimbangan, mengingat besarnya nilai gratifikasi/suap dan telah dilakukan sejak 2012 hingga ia pensiun,” jelasnya. 

ICW juga mencatat pelaku mafia peradilan di Indonesia rata-rata dijatuhi vonis pidana selama 7 tahun dengan nominal denda kurang lebih Rp1 miliar. Hukuman yang dijatuhkan bervariasi tergantung pada jenis tindak pidana yang dilakukan, tingkat kesalahan, dan faktor-faktor lain yang dipertimbangkan oleh hakim dalam persidangan. 

Selain itu, Wana membandingkan vonis dalam kasus Zafor Ricar dengan kasus mantan hakim Setyabudi Tejocahyono yang divonis 12 tahun penjara karena menerima suap sebesar USD18.400 (sekitar Rp180an juta di tahun 2013). 

Menurutnya, jika jumlah uang suap sebesar ratusan juta saja dapat dipidana hingga 12 tahun, maka sudah sepatutnya Zarof dijatuhi vonis maksimal, bukan justru meringankan pidananya.

Lebih jauh, Wana mendorong agar Mahkamah Agung (MA) melakukan perbaikan sistem pengawasan kasus korupsi peradilan sebagai titik balik untuk membersihkan citra dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, salah satunya dengan memperketat pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY) dan MA itu sendiri. 

“Sehingga sekecil apa pun komunikasi yang dilakukan kepada pihak yang berperkara, lebih diminimalisir dan menutup ruang transaksi, baik itu oleh hakim, panitera, maupun pejabat di peradilan itu sendiri,” pungkasnya. (Dev/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya