Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Bawaslu Identifikasi 4 Modus Kampanye Hitam pada Pilkada 2020

Rifaldi Putra Irianto
15/8/2020 10:56
Bawaslu Identifikasi 4 Modus Kampanye Hitam pada Pilkada 2020
Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo(MI/Pius Erlangga)

BADAN Pengawas Pemilu (Bawaslu) memprediksi kampanye hitam (black campaign) akan marak terjadi pada gelaran Pilkada serentak 2020. Untuk itu, Bawaslu meminta masyarakat dapat mengidentifikasi dan berhati-hati terkait kemungkinan adanya black campaign dalam Pilkada 2020.

Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengungkapkan telah mengidentifikasi 4 modus kampanye hitam yang diperkirakan terjadi pada Pilkada 2020.

Pertama, pidato politik yang cenderung mengarah kepada politik identitas yang bermuara kepada politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Bahkan, kata dia, hal tersebut juga terjadi saat pilkada di DKI dan Pemilu 2019 Jakarta.

"Saya rasa kita memiliki pengalaman di DKI, kemudian ada pengalaman saat Pemilu 2019," katanya dalam keterangan resmi, Sabtu (15/8).

Modus kedua, yakni ceramah-ceramah provokatif di tempat ibadah atau acara keagamaan. Baginya butuh pendekatan secara struktural kepada tokoh-tokoh agama yang akan memengaruhi Pilkada 2020.

Namun demikian, terkait modus ceramah-ceramah provokatif di tenpat ibadah, Bawaslu telah membentuk kelompok lintas agama secara konkrit membuat buku Pilkada Tanpa Politik Uang dan Politisasi SARA yang berisi sosialisasi untuk digunakan oleh tokoh-tokoh agama ketika melakukan ceramah di rumah ibadah.

"Kami (Bawaslu) sudah memulainya tahun 2019 dengan melibatkan tokoh lintas agama baik itu Islam, Kriten Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, bahkan aliran kepercayaan," sebutnya.

Baca juga: Bawaslu Waspadai Politisasi SARA dalam Pilkada 2020

Modus ketiga, lanjutnya, terdapat spanduk yang mengandung pesan verbal berkonten SARA dan keempat penyebaran ujaran kebencian oleh akun-akun anonim di media sosial. Dia memprediksi Pilkada 2020, terlebih dengan situasi covid-19, kampanye mengunakan medsos lebih ramai dan lebih banyak digunakan dan itu berpotensi semakin tingginya kampanye dengan ujaran kebencian.

"Ini pekerjaan yang tidak mudah bagi Bawaslu, bagaimana bisa menindaklanjuti pertemuan atau laporan ujaran kebencian yang dilakukan di akun-akun yang tidak resmi di medsos," tuturnya.

Ia menilai, politisasi SARA masih jadi ancaman terbesar pada pelaksanaan pilkada 2020. Menurutnya, kontestasi dengan memanfaatkan agama serta simbol-simbolnya untuk menegasi calon kepala daerah yang berbeda agama atau suku akan menimbulkan ketidaksetaraan politik dan itu dapat mencederai proses pemilihan di Indonesia.

"Proses tindak pidana terhadap praktik politisasi SARA dan ujaran kebencian menjadi cara paling baik dan efektif memberikan sanksi sekaligus sebagai pencegahan praktik tersebut," tegasnya.

Kendati demikian, ia menjelaskan ada empat strategi yang dilakukan Bawaslu dalam mencegah politisasi SARA dan ujaran kebencian. Pertama, membangun komitmen calon kepala daerah untuk tolak politisasi SARA dan ujaran kebencian di pilkada.

Kedua, menyusun Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) sebagai peringatan dini untuk pencegahan ujaran kebencian dan politisasi sara. Ketiga, menggandeng tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mengkampanyekan tolak politisasi SARA di pilkada, dan keempat, membangun kerja sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam penegakan hukum ujaran kebencian dan politisasi SARA.

"Terutama fokus kami kepada Tim Cyber Mabes Polri untuk menyusuri pemanfaatan media sosial dalam melakukan pelanggaran-pelanggran berkaiatan dalam melakukan tindak pidana pemilihan," tukasnya.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya