Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Bawaslu Waspadai Politisasi SARA dalam Pilkada 2020

Kautsar Bobi
14/8/2020 09:13
Bawaslu Waspadai Politisasi SARA dalam Pilkada 2020
Logo Bawaslu di kantor Bawaslu Jakarta.(MI/RAMDANI)

BADAN Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebut politisasi Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan (SARA) serta ujaran kebencian berpotensi terjadi pada Pilkada 2020. Tindakan tersebut dapat terjadi dengan beragam modus sepanjang tahapan Pilkada berlangsung.

"Pidato politik yang cenderung mengarah kepada politik identitas berujung SARA. Pengalamannya (terjadi) di DKI dan Pemilu 2019," ujar Anggota Bawaslu Ratna Dewi Petalolo dalam diskusi virtual, Kamis (13/8).

Selain itu, ceramah keagamaan juga kerap disusupi tindakan SARA dan ujaran kebencian oleh peserta Pilkada. Ceramah-ceramah itu bersifat provoaktif untuk menjatuhkan salah satu peserta.

Baca juga: Laksanakan Pilkada dengan Protokol Ketat

"Ini butuh pendekatan-pendekatan yang struktural kepada tokoh-tokoh agama kita yang akan mempengaruhi Pilkada 2020," tuturnya.

Upaya tersebut telah dilakukan Bawaslu sejak Pemilu 2019. Sejumlah tokoh lintas agama, dari Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha menyusun sebuah buku mengenai Pilkada tanpa politisasi SARA dan ujaran kebencian.

"(Sebagai) bahan sosialisasi oleh tokoh-tokoh agama, para ustaz, para mubaligh, kemudian pendeta ketika mereka melakukan ceramah-ceramah di rumah ibadah masing-masing," tuturnya

Kemudian modus lainya yang kerap terjadi melalui spanduk dan pamflet yang berisikan pesan berkonten SARA dan ujaran kebencian.

Terakhir, penyalahgunaan media sosial untuk menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

"Ini pekerjaan yang tidak mudah bagi Bawaslu, bagaimana bisa menindaklanjuti temuan atau laporan ujaran kebencian yang dilakukan di akun yang tidak resmi di media sosial," jelasnya.

Ratna menegaskan sudah ada regulasi yang melarang secara tegas terjadinya politisasi SARA dan ujaran kebencian. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pada pasal 69 huruf (b) secara tegas menyatakan bahwa kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan calon gubernur dan atau juga partai politik. Lalu pasal 69 huruf (c) mengatur larangan untuk melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan atau juga kelompok masyarakat.

Selain itu, untuk sanksi tegas diatur dalam pasal 187 ayat 2. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud pada pasal 69 dan seterusnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga bulan atau paling lama 18 bulan dan atau dengan denda paling sedikit 600.000 atau 6.000.000. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya