Perma 1/2020 Relevan dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

Rifaldi Putra Irianto
03/8/2020 13:35
 Perma 1/2020 Relevan dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar (kanan)(DOK MI/PIUS ERLANGGA)

PAKAR Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar merespon baik Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

Abdul Fickar menilai, Perma Nomor 1/2020 itu merupakan peraturan yang sangat relevan dan signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Peraturan Mahkamah Agung tentang pedoman pemidanaan menjadi sangat relevan dan signifikan," ucap Abdul Fickar dalam pesan singkatnya, Jakarta Senin, (3/8).

Ia juga menyebutkan, aturan yang memuat mengenai terdakwa korupsi yang merugikan keuangan negara lebih dari Rp100 miliar akan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau penjara 16 tahun hingga 20 tahun, adalah sebuah aturan yang responsif dan progresif.

"Penentuan jumlah kerugian negara Rp100 miliar lebih dengan hukuman penjara seumur hidup adalah sebuah aturan yang responsif dan progresif," sebutnya.

Tidak hanya itu, ia juga memandang kehadiran perma tersebut akan membatasi dan mengawasi para hakim untuk bermain dengan kekuasaan yudikatif yang dimilikinya.

"Aturan ini juga akan membatasi dan mengawasi para Hakim yang seringkali bermain-main dengab kekuasaannya. Apresiasi tinggi untuk Mahkamah Agung, meski pada penerapannya juga harus tetap dijaga prinsip Independent Judiciary atau kebebasan kekuasaan kehakiman yang mekekat pada profesi hakim," jelasnya.

Baca juga: Korupsi Rp100 M, Bui Seumur Hidup

Ia menekankan, bahwa korupsi menjadi komitmen semua pihak untuk memberantasnya, dan peradilan adalah lembaga satu-satunya yang mempunyai otoritas untuk menghukumnya.

Peradilan sebagai sebuah kekuasaan yudikatif berintikan kebebasan hakim-hakimnya, secara sistemik tidak boleh dan tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan apapun baik eksekutif maupun legislatif.

"Meskipun seringkali kekuasaan uang mempengaruhinya. Sehingga seringkali juga terjadi pergeseran penggambaran bahwa 'keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa' bergeser menjadi 'Keuangan Yang Maha Kuasa'," tuturnya.

Dikatakannya, sistem hukum pembuktian dalam perkara pidana dibangun atas dasar minimal adanya dua alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan tersangkat atau terdakwa dan informasi atau dokumen ekektronik yang menimbulkan keyakinan hakim.

Dengan kebebasan yang dimiliki para hakim, seringkali terjadi disparitas dikalangan para hakim dalam mengekpresikan keyakinannya dari sebuah fakta hukum. Oleh karenanya kehadiran perma Nomor 1 Tahun 2020 diharapkan dapat mencegah disparitas tersebut.

"Dengan kebebasannya seringkali terjadi disparitas dikalangan para hakim dalam mengekpresikan keyakinannya dari sebuah fakta hukum. Sebabnya, seringkali intervensi uang dalam berbagai bentuknya menjadi faktor yang utama, sehingga tidak heran dari sebuah fakta peristiwa dan persoalan hukum yang sama lahir putusan yg berbeda-beda besarnya," tukasnya.

Dapat diketahui, disparatia hukuman yang mencolok antara satu koruptor dan koruptor lainnya kerap mengganggu rasa keadilan. Padahal, pidana yang dijatuhkan hakim semestinya proporsional dari segi keadilan dan serasi bila diperbandingkan dengan perkara serupa.

Untuk menghindari disparitas semacam itu, Mahkamah Agung (MA) merilis Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1/2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam perma yang ditandatangani Ketua MA Syarifuddin itu, MA memberikan pedoman kepada para hakim yang mengadili perkara tindak pidana korupsi untuk memberikan vonis hukuman dalam sejumlah kategori.

Dalam Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2020 disebutkan terdapat empat kategori kerugian negara. Kategori paling berat yaitu kerugian negara lebih dari Rp100 miliar.

Kategori berat yaitu kerugian negara Rp 25 miliar-Rp 100 miliar. Kategori sedang yaitu kerugian negara Rp 1 miliar-Rp 25 miliar, Kategori ringan yaitu kerugian negara Rp 200 juta-Rp 1 miliar. Kategori paling ringan yaitu kurang dari Rp 200 juta.

Selain nilai kerugian negara, hukuman yang dijatuhkan mempertimbangkan kesalahan, dampak, dan keuntungan terdakwa korupsi. Misalnya Jika terdakwa korupsi merugikan keuangan negara lebih dari Rp100 miliar serta memiliki tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan yang masuk dalam kategori tinggi, hakim dapat menjatuhkan pidana penjara 16 tahun hingga 20 tahun atau pidana penjara seumur hidup. (A-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya