Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

MA dan MK Jangan Jalan Sendiri-Sendiri

Indriyani Astuti
08/7/2020 13:20
MA dan MK Jangan Jalan Sendiri-Sendiri
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) memimpin sidang di gedung MK, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.( MI/Susanto)

PUTUSAN Mahkamah Agung (MA) terkait Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih dianggap berpotensi menimbulkan konflik baru dalam sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia.

Koordinator Harian Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana mengatakan putusan MA berkaitan dengan uji materil PKPU tidak kali pertama terjadi.

"Hal ini dapat berdampak pada terbukanya ruang untuk permasalahan penegakan hukum kepemiluan di Indonesia," ujarnya di Jakarta, Rabu (8/7).

Putusan MA yang tidak mengindahkan putusan MK, akta dia, hampir sama dengan kasus sengketa pencalonan Oesman Sapta Oedang (OSO) sebagai calon anggota legislatif yang timbul akibat adanya perbedaan antara putusan MA, MK, dan putusan Bawaslu yang menyebabkan pelaporan komisioner KPU ke Bareskrim Polri karena tidak meloloskan Ketua Umum Partai Hanura itu sebagai caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

KPU mencoret OSO dari daftar calon mengacu pada putusan MK. Sedangkan MA memutuskan pengurus partai dapat mencalonkan diri sebagai anggota DPD tanpa harus mengundurkan diri.

Kejadian tersebut, tutur Ihsan, menjadi pelajaran bahwa perbedaan putusan kedua lembaga peradilan dapat merusak sistem penegakan hukum sengketa pemilu.

Uji materil PKPU ke MA terkait pemilihan umum diajukan oleh Rachmawati Soekarnoputri pada 21 April 2019, beberapa hari sebelum penetapan calon presiden dan wakil presiden hasil Pemilu 2019.

Putusan MA atas perkara tersebut, resmi diunggah pada 3 Juli 2020 dengan Nomor 44 P/PHUM/2019. MA menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan denga Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 416 ayat 1 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MA membatalkan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 itu menyebutkan,

“Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon dalam pemilu presiden dan wakil presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih”.

Sementara itu, putusan MK No.50/PUU-XII/2014 ditegaskan bahwa Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres yang berbunyi, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh lebih dari 50% suara dalam pemilihan umum, dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia", tidak berlaku sepanjang pilpres hanya diikuti dua paslon presiden dan wakil presiden.

Ihsan lebih lanjut mengatakan putusan MA terkait uji materil PKPU No 5/2019 tidak dapat diberlakukan sebab pengujian materi PKPU tidak lagi memiliki esensi mengingat tahapan Pemilu 2019 telah selesai pascasengketa hasil pilpres diputuskan.

"Putusan MA tersebut tidak berlaku surut dan tidak membatalkan keterpilihan presiden dan wakil presiden terpilih pada Pemilu 2019," imbuhnya.

Oleh karena itu, ia mengatakan Kode Inisiatif mendesak agar MA dalam uji materi seyogyanya tidak memberikan putusan yang bersebrangan dengan peraturan di atasnya ataupun putusan MK.

"Karena MK sebagai penafsir konstitusi, putusannya fiinal dan mengikat," tukasnya. (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Hillarius
Berita Lainnya