OMBUDSMAN Jakarta Raya menyayangkan banyak peraturan terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tumpang tindih. Hal itu berkontribusi membuat PSBB tidak maksimal untuk menanggulangi pandemik covid-19.
Tidak hanya tumpang tindih, kebijakan itu bahkan saling kontraproduktif. Semisal Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Penanganan Covid-19 yang melarang ojek mengangkut penumpang. Tapi Peraturan Menteri Perhubungan No.18 tahun 2020 justru memperbolehkannya.
Belum lagi Surat Edaran Menteri Perindustrian No. 7 tahun 2020 tentang Izin Kegiatan Usaha selama PSBB yang bertentangan dengan Pergub DKI No.33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB untuk Pencegahan Penularan Covid-19 di Jakarta.
Pergub mengatur hanya memperbolehkan 11 sektor usaha yang boleh beroperasi selama PSBB. Sementara, SE Menperin justru memperbolehkan seluruh jenis usaha beroperasi.
"Ya kalau terlalu banyak katebelece dari pihak terkait ya nggak akan efektif. Misal Kemenhub punya keputusan sendiri, Kemenperin punya keputusan sendiri, Kemenkes punya sendiri," kata Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh P. Nugroho saat dihubungi, Senin (20/4).
Teguh mengatakan karena tumpang tindihnya peraturan ini, petugas dan aparat di lapangan sulit melakukan penindakan.
Baca juga: Pengamat : Ketidaksinkronan Regulasi Membuat PSBB Majal
Untuk itu, ia memasukkan aturan-aturan ini sebagai poin rekomendasi evaluasi PSBB kepada pihak terkait. Evaluasi pun akan dilakukan setelah sepenuhnya berjalan dua pekan.
Sebelumnya, akibat SE Menperin ratusan perusahaan masih beroperasi di Jakarta. Hal ini membuat transportasi umum seperti KRL dan Transjakarta masih dipadati penumpang. Padahal seharusnya seluruh usaha yang tidak termasuk sektor yang dikecualikan berhenti beroperasi dan menerapkan work from home agar mencegah penularan covid-19.(OL-4)