Dewas Dinilai Masuk Ranah Projustisia KPK

Deden M Rojani
13/2/2020 09:40
Dewas Dinilai Masuk Ranah Projustisia KPK
Dari kiri Ahli hukum administrasi negara Ridwan, Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas, Ahli hukum tatanegara Denny Indrayana.(MI/ADAM DWI)

MANTAN Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas khawatir keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) KPK justru akan melemahkan kinerja lembaga antirasuah itu. Pasalnya, dengan kewenangan dewas yang dapat memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, bukan tidak mungkin terjadi kebocoran penyelidikan suatu kasus.

Pernyataan tersebut disampaikan Busyro saat menjadi ahli dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.

"Sangat tidak mustahil kekhawatiran-kekhawatiran terjadinya kebocoran atau pembocoran sangat mungkin justru di antaranya dengan adanya dewas yang memiliki kewenangan-kewenangan projustisia," kata Busyro.

Selain kebocoran, imbuhnya, keberadaan dewas juga dikhawatirkan akan memperlambat proses penyelidikan. Pasalnya, supaya penyidik dapat melakukan penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan, harus lebih dulu melalui proses administrasi dan proses birokrasi yang panjang.

Menurut Busyro, kewenangan dewas atas pemberian izin itu tidak relevan karena kewenangannya bersifat projustisia. "Hal tersebut justru akan melanggar esensi dari pengawasan itu sendiri, akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, ahli menilai pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," ujar dia.

Meski begitu, Busyro mengatakan, dirinya setuju bahwa kekuasaan KPK yang besar perlu dibatasi. Namun, pada praktiknya pimpinan dan seluruh penyidik KPK telah diikat melalui standar kode etik pengawasan internal melalui penasihat KPK yang dibentuk jauh hari sebelum revisi UU KPK.

"Jadi, tidak ada satu keharusan bagi pemerintah untuk membentuk dan menempatkan dewas disertai dengan kuasa projustisia pada tubuh kelembagaan KPK," tegasnya.

Sejak direvisi pada September 2019, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK telah beberapa kali digugat ke MK. Gugatan itu dimohonkan sejumlah pihak, mulai pegiat antikorupsi, advokat, akademisi, hingga mantan petinggi KPK.

Ahli lainnya, Denny Indrayana, menilai revisi UU KPK membuat komisi antirasuah mati suri. "Kami sampai pada kesimpulan revisi UU KPK pada dasarnya adalah politik hukum membunuh KPK," ujar Denny.

Dia menjelaskan aspek-aspek yang telah membunuh KPK, di antaranya keberadaan dewas dan menjadikan KPK sebagai rumpun eksekutif. Dewas, menurut Denny, menjadi salah satu persoalan yang dapat menghancurkan prinsip independensi KPK.

"Dewas, menurut kami, sudah masuk tataran yang merusak independensi KPK." (Dmr/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya