Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Kapal TNI-AL akan Tetap Berada di Natuna

Indriyani Astuti
15/1/2020 07:30
Kapal TNI-AL akan Tetap Berada di Natuna
Kapal Republik Indonesia (KRI) Karel Satsuit Tubun-356 bersandar di Faslabuh Lanal Ranai, Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau.(ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

KAPAL-KAPAL TNI-AL akan tetap berada di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Keberadaan kapal TNI-AL itu untuk mengawasi kapal penjaga pantai dan kapal ikan Tiongkok yang kembali muncul di wilayah ZEE Indonesia.

"Ya tetap di sana, tetap ada di sana. Dimungkinkan sementara ini, jadi ada upaya bersama untuk mengawal hal tersebut," kata Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Fadjroel Rahman, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/1).

Kapal perang TNI-AL itu juga disiagakan untuk menegakkan hukum di wilayah ZEE Indonesia. Pemerintah akan terus meningkatkan patroli dengan melibatkan Badan Keamanan Laut (Bakamla) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan pemerintah akan membangun kekuatan nelayan di perairan Natuna, antara lain dengan mendatangkan lebih banyak kapal nelayan Indonesia ke zona ekonomi eksklusif itu.

"Kami akan bangun kekuatan nelayan di sana. Kami akan berikan bantuan kapal yang sesuai dengan permintaan mereka," ujar Edhy di Kompleks Kepresidenan, Jakarta, kemarin.

Ia menuturkan pemerintah sedianya telah mengeluarkan izin kepada lebih dari 700 kapal untuk berlayar di perairan Natuna. Namun, dari segi bobot, kapal-kapal yang beroperasi tidak ada yang melebihi 150 grosstonnage (GT).

Selama ini, kapal-kapal tangkap memang dibatasi maksimal 150 GT. Larangan tersebut diatur dalam Surat Edaran Ditjen Perikanan Tangkap tentang batasan ukuran kapal ikan. Aturan itu diterapkan demi menjaga keberlanjutan sumber daya laut Indonesia.

Namun, apabila melihat situasi yang terjadi saat ini, ia membuka kemungkinan untuk mencabut larangan tersebut.

Hal lain yang menjadi perhatian pemerintah ialah bagaimana mencegah gesekan antara nelayan-nelayan asli Natuna dan nelayan-nelayan dari wilayah lain.

"Solusinya nanti kami akan berikan izin, tetapi nelayan-nelayan dari wilayah luar akan ditempatkan di daerah yang sebelumnya tidak dilayari nelayan setempat," tandasnya.

 

Pendekatan sejarah

Opsi penyelesaian masalah Natuna antara Indonesia dan Tiongkok antara lain juga melalui pendekatan sejarah. Itu mengemuka dalam diskusi terbatas mengenai perairan Natuna yang diselenggarakan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat di Jakarta, kemarin.

Akademisi sekaligus pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie yang hadir sebagai narasumber menuturkan, kolaborasi dan membangun kemitraan serta meningkatkan pengetahuan akan sejarah maritim negara-negara kawasan lebih penting ketimbang saling mengklaim wilayah kedaulatan.

MI/PIUS ERLANGGA

Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie.

 

"Kalau Tiongkok ngotot klaim historis dan Indonesia berkeras dengan UNCLOS, tidak akan bertemu. Kenapa tidak melakukan pendekatan berbeda, yaitu berkoordinasi sebagai bangsa di kawasan. Duduk bersama untuk mengamankan zona kemaritiman di wilayah itu," tegas Connie.

Di sisi lain, Christine Susanna Tjhin dari Foreign Community of Indonesia menilai bahwa penggalian sejarah perjalanan maritim tetap penting dilakukan Indonesia yang sudah mendeklarasikan identitas sebagai negara maritim pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. (Dam/Pra/YH/AU/X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya