Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
KUASA Hukum DPR RI Arteria Dahlan mempermasalahkan kedudukan hukum pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Mengenai kedudukan hukum pemohon terkait kedudukan hukum, DPR berpandangan Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional," kata Arteria saat membacakan pendapat di sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (19/11).
Perkara UU KPK telah teregistrasi dengan nomor 59/PUU-XVII/2019. Diketahui, pemohon merupakan mahasiswa pascasarjana Universitas Islam As-Syafi'yah Bekasi yang juga berprofesi sebagai advokat.
"Para pemohon adalah perorangan yang mendalilkan sebagai advokat dan mahasiswa, menyatakan kewenangan konstitusi dirugikan," ujar Arteria.
Baca juga: 11 Tokoh Akan Ajukan JR Terkait UU KPK
Dengan profesi dari pemohon, DPR menyimpulkan tidak menemukan urgensi dari UU KPK tersebut disimpulkan terhadap kerugian konstitusi yang dimiliki oleh pemohon.
"Para pemohon tidak memiliki hak konstitusional karena Pemohon tidak dapat membuktikan konstitusional UU a quo," ucap Arteria.
Selain itu, pasal yang diajukan oleh pemohon terkait UU KPK, DPR menilai hanya berdasarkan asumsi belaka karena tidak ada tautan antara pemohon dengan pasal yang ada.
"Sesuai dengan praduga keabsahan tindakan penguasa dianggap sah sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas itu, tindakan penguasa dianggap sah sehingga permohonan pemohon hanya asumsi semata tidak menguraikan pertautan dengan UU KPK," ungkap Arteria.
DPR berpandangan tidak ada pertautan dengan Pemohon. Dewan pengawas harus dimaknai sebagai penguatan sistem dan kelembagaan KPK sehingga KPK lebih legitimate.
Para pemohon dalam petitumnya menyatakan Pasal 21 (1) huruf a mengenai pembentukan dewan pengawas dapat menghambat KPK dalam memberantas korupsi.
Mengenai dewan pengawas yang bertentangan dengan UUD sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan 4 (1) UUD 1945.(OL-5)
KOORDINATOR Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menanggapi pernyataan Hakim MK soal sekolah gratis.
MK membuat ketentuan hukum baru dengan mendetailkan bahwa pelaksanaan Pemilu lokal harus dilaksanakan antara dua atau dua setengah tahun setelah pemilu nasional.
UU TNI tidak memenuhi syarat untuk dibentuk melalui mekanisme carry over dan lemah secara kepastian hukum.
Presiden diwakili Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Supratman membantah dalil para Pemohon yang menyebutkan pembentukan UU TNI Perubahan tidak memenuhi asas keterbukaan.
Legislasi harusnya menjadi proses yang harus dijalankan oleh DPR dan pemerintah secara cermat dan hati-hati dan bukan administratif dan kegiatan rutin yang dilakukan para pembentuk UU belaka.
PEMISAHAN pemilu tingkat nasional dan lokal yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai keliru. Itu harusnya dilakukan pembuat undang-undang atau DPR
KETUA Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman Samarinda, Orin Gusta Andini menilai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih berjalan stagnan.
UU KPK digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon mengajukan uji materi Pasal 30 ayat (1) dan (2) mengenai proses seleksi pimpinan KPK yang dianggap tidak sah.
Sejumlah harapan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK 2024-2029. Salah satu harapannya ialah KPK jangan tebang pilih dalam memberantas korupsi.
Saut Situmorang mengatakan lima pimpinan KPK yang baru terbentuk periode 2024-2029 berpotensi akan bekerja tidak independen dalam memberantas korupsi karena revisi UU KPK
Soleman B Ponto menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XXI/2023 membenturkan kewenangan KPK dengan Kejaksaan dan TNI lewat Polisi Militer.
ICW harap pansel bisa objektif pilih kandidat Capim KPK
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved