Boleh Revisi, tetapi Pastikan Efek Jera

Golda Eksa
23/9/2019 08:30
Boleh Revisi, tetapi Pastikan Efek Jera
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (tengah) memberikan keterangan pers di Jakarta terkait dengan penundaan pengesahan revisi KUHP.( ANTARAFOTO/Aditya Pradana Putra)

PRODUK legislasi lagi-lagi menuai kontroversi. Kali ini dipicu revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Sejumlah pasal dalam draf revisi dinilai memberi keringanan bagi narapidana, khususnya koruptor.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut salah satu poin yang menjadi polemik dalam revisi itu ialah penghapusan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Padahal, PP 99/2012 dibuat dengan harapan narapidana khususnya koruptor jera dengan kejahatan yang dilakukannya.

Salah satu syarat mendapat remisi atau bebas bersyarat dalam PP 99/2012 ialah bersedia menjadi justice collaborator. Syarat lain, terpidana harus mengembalikan kerugian negara. Semua syarat itu harus disertai pertimbangan dari instansi yang menuntutnya, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau kejaksaan.

"Nah, sekarang PP itu dihilangkan dan akan ada obral remisi. Tapi yang ironis ialah koruptor itu sama dengan maling ayam, maling sandal, karena dia diperlakukan sama," ujar Fickar ketika dihubungi, Sabtu (21/9).

Menurut Fickar, PP 99/2012 berhasil membuat narapidana kasus korupsi mengurungkan niat untuk mengajukan remisi ataupun pembebasan bersyarat. Bahkan, setelah regulasi itu diterbitkan, hanya sedikit koruptor yang diberikan pengurangan masa hukuman.

Kendati begitu, Fickar mengatakan revisi UU Pemasyarakatan boleh saja disahkan. Namun, ada poin penting yang perlu diperhatikan, yakni membuat sistem untuk memastikan efek jera seperti menyertakan dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Karena para koruptor ini, kalau cuma dihukum, dia tidak jera. Tapi kalau disita lagi semua hasil kejahatannya dan harta lainnya, baru dia mungkin jera. Instrumen dakwaan TPPU itu perlu dipertimbangkan."

Poin revisi lainnya yang kontroversial ialah napi bakal punya hak mendapat cuti bersyarat dan kegiatan rekreasi. Tidak jelas bagaimana hal tersebut dijalankan. Bahkan, terdapat perbedaan penafsiran di kalangan DPR sendiri.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyebut hal itu bukan berarti membolehkan narapidana keluar penjara. Aturan itu hanya menjadi lampu hijau atas kegiatan-kegiatan yang bersifat rekreasi di dalam tahanan.

"Bukan jalan-jalan ke Ancol. Wong jalan bareng satu (napi) saja ribut, apalagi jalan bareng (napi) se-LP," cetus Arsul.

Sebaliknya, anggota Panitia Kerja (Panja) DPR RUU Pemasyarakatan Muslim Ayub mengatakan hak cuti bersyarat dapat saja digunakan napi untuk pulang atau rekreasi keluar LP. Itu bisa dilakukan sepanjang didampingi oleh petugas.

 

Hak asasi

Salah satu bahan pertimbangan DPR untuk merevisi UU Pemasyarakatan ialah agar hak-hak asasi narapidana tidak terlaggar, termasuk dalam hal pemberian remisi. Namun, mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menegaskan keberadaan PP 99/2012 tidak melanggar hak asasi manusia.

Ia pun mengingatkan dalam peerlindungan hak asasi manusia ada hak yang tidak bisa dibatasi dan ada hak yang bisa dibatasi. Hak dasar narapidana, jelasnya, adalah hak yang tidak bisa dibatasi atau dikurangi. Adapun hak sekunder seperti hak pemberian remisi, asimilasi, cuti, dan pembebasan bersyarat adalah hak yang dapat dibatasi atau dikurangi.

"Perlakuan asasi yang dimaksud dalam RUU Pemasyarakatan tidak perlu kemudian mencabut keberadaan PP 99/2012 karena tidak bertentangan dengan perlakuan asasi menurut Pancasila dan UUD 1945," tegasnya.

RUU Pemasyarakatan saat ini sudah selesai dibahas di Komisi III DPR bersama pemerintah. Selanjutnya, tinggal menunggu pengesahan di Rapat Paripuna DPR yang rencananya berlangsung dalam pekan ini. (Nur/Mal/Medcom/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya