Headline
Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.
DIREKTUR Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan pentingnya upaya rekonsiliasi oleh elit politik pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) guna mencegah pembelahan bangsa. Namun, ia mengingatkan agar rekonsiliasi tersebut tidak diartikan dalam pengertian yang sempit.
"Seluruh elit diharapkan betul-betul mampu mewujudkan rekonsiliasi bangsa, baik sosial dan politik. Namun agenda rekonsiliasi tidak boleh diartikan sempit sebagai sebatas ajang transaksional dan bagi-bagi kekuasaan," tutur Titi dalam keterangannya, Jumat (28/6).
Baca juga: MK Satu-Satunya Upaya Hukum Terakhir Prabowo-Sandi
Titi menjelaskan, agenda rekonsiliasi harus dimaknai dengan proses penghentian pertikaian dan ketegangan sosial di tengah masyarakat. Salah satunya ditandai dengan ketulusan elit untuk legawa menerima hasil pemilu dan mengakui keterpilihan paslon yang ditetapkan KPU.
Menurutnya, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi para elit yang bersaing pada pemilu kemarin untuk mengajak para pendukungnya mentransformasi partisipasi politik dari bilik suara menuju partisipasi aktif warga negara untuk mengawasi kerja-kerja dan kinerja para eksekutif dan legislatif terpilih. Titi berpendapat, rekonsiliasi politik bukan hanya penting di antara para elit, tapi juga para pendukung yang punya fanatisme dan afeksi politik yang kuat.
"Seluruh elit, bagian dari paslon 01 dan 02 semestinya mendinginkan suasana dan sudah mulai bicara agenda ke depan. Sehingga publik merasa yakin bahwa kepemimpinan terpilih memang punya komitmen untuk fokus membangun tata kelola pemerintahan yang berorientasi untuk semua kelompok secara inklusif dan terbuka," tutur Titi.
Lebih lanjut, Titi menilai pada pemerintahan terpilih nantinya tetap dibutuhkan kelompok pengawas atau oposisi sebagai penyeimbang dalam demokrasi yang produktif dan konstruktif. Peranan dari oposisi tersebut akan menjalankan fungsi check and balances dalam sistem presidensil agar terciptanya demokrasi yang sehat dan pemerintahan yang baik. (OL-6)
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu menjadi pemilu nasional dan daerah menuai heboh yang belum berkesudahan.
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa biaya transportasi LPG 3 kilogram (kg) bukan merupakan obyek pajak. Hal itu ditegaskan MK pada putusannya nomor 188/PUU-XXII/2024.
Fajri menilai proses pemilihan oleh DPR tidak sesuai dengan tata cara pemilihan hakim konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Jalan keluarnya antara lain mengkodifikasi semua undang-undang terkait pemilu dan politik ke dalam satu payung hukum tunggal, mungkin melalui metode omnibus law.
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Feri Amsari menyoroti proses seleksi calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan menggantikan posisi hakim Arief Hidayat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved