Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Tak Salah Mencontek Sistem Pilkada di Jepang

Yakub Pratama Wijayaatmaja
25/12/2024 15:09
Tak Salah Mencontek Sistem Pilkada di Jepang
ilustrasi.(MI)

DI tengah polemik wacana pemilihan kepala daerah dipilih DPRD yang digulirkan Presiden Prabowo Subianto, Perhimpunan Pelajar Indonesia Jepang (PPIJ) 2024-2025 menggelar diskusi publik bertema Belajar dari Pemilihan Kepala Daerah di Jepang di Cinta Jawa Cafe Shinjuku, Tokyo. Anggota Bawaslu RI, Puadi, yang menjadi narasumber turut membandingkan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di kedua negara.

Dalam paparannya, Puadi membeberkan kompleksitas pelaksanaan Pilkada di Indonesia yang dipengaruhi oleh keragaman geografis, sosial, dan budaya. "Indonesia ini luar biasa dengan beragam keragaman suku, ras, dan sebagainya. Ini mempengaruhi style pelaksanaan Pilkada di masing-masing daerah," ujarnya, dalam keterangannya, Rabu (25/12).

Puadi mengungkapkan tantangan serius dalam pelaksanaan Pilkada di Indonesia, terutama masalah politik uang yang masih menjadi kendala utama. "Dana yang dikeluarkan untuk pencalonan kepala daerah di Indonesia sangat besar" ucap Puadi.

Puadi juga menyoroti kendala dalam pengawasan dan penegakan hukum Pilkada. Di pemilu, jika ada kasus politik uang, apakah melalui pintu temuan atau laporan yang dapat dijerat hukum hanya pemberi. Namun, jika kasusnya pada Pilkada, baik pemberi dan penerima dapat dijerat sanksi pidana.

Selain itu, kata Puadi, Bawaslu tidak memiliki kewenangan penggeledahan atau pemaksaan, sebab yang mempunyai kewenangan hanya penyidik kepolisian dan kejaksaan saja. Sehingga jika ada kasus harus masuk dalam sentra Gakkumdu sebagaimana diatur dalam Pasal 152 UU 10/2016 dan pasal 486 UU 7/2017.

Ketua Umum PPIJ, Prima Gandhi mengungkapkan perbedaan Pilkada di Indonesia dan Jepang, menurutnya sistem pemilihan kepala daerah di Jepang, yang dikenal dengan sistem prefektur, dinilai lebih efisien. Periode kampanye yang hanya berlangsung dua minggu menjadi salah satu faktor yang membuat sistem ini lebih terkontrol dan hemat biaya.

"Di Jepang, transparansi dana kampanye jauh lebih baik. Setiap pengeluaran harus dilaporkan secara rinci. Ini berbeda dengan di Indonesia, di mana sering kali dana yang dilaporkan tidak berimbang dengan pengeluaran aktual di lapangan," ungkap Gandhi.

Diskusi ini mengidentifikasi beberapa pembelajaran penting dari sistem Pilkada Jepang, yakni jadwal pemilihan yang tetap dan terkontrol. Lalu periode kampanye yang efisien dan ramah lingkungan. Kemudian, transparansi dana kampanye yang lebih baik, partisipasi pemilih yang tinggi dan penegakan hukum yang tegas. (Ykb/I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya