Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
DUNIA hari ini sedang demam tinggi. Ketegangan antara Iran dan Israel yang kembali membara sejak pertengahan Juni 2025 bukan sekadar konflik kawasan, melainkan juga api yang bisa menyambar ekonomi global dalam sekejap. Pasar minyak dunia melonjak lebih dari 10% hanya dalam semalam, sementara ancaman penutupan Selat Hormuz, jalur 20% suplai minyak dunia, mengubah detak jantung pasar energi dan memperuncing volatilitas komoditas strategis.
Di tengah turbulensi itu, Indonesia tidak bisa hanya menjadi penonton yang berharap badai segera reda. Ketergantungan tinggi pada impor energi dan pangan telah membuat fondasi ekonomi nasional menjadi rapuh terhadap guncangan eksternal. Kini, pertanyaannya bukan sekadar bagaimana bertahan, melainkan juga beranikah kita mengambil kendali?
DAYA TAHAN EKONOMI: JANGAN TERKECOH DENGAN INFLASI RENDAH
Sinyal makroekonomi Indonesia perlu ditafsirkan dengan akal jernih dan pandangan jauh ke depan. Data BPS Mei 2025 memang menunjukkan inflasi tahunan terkendali di angka 1,60%, bahkan terjadi deflasi secara bulanan. Namun, di balik angka itu, tersembunyi ironi. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 hanya 4,87%, lebih rendah daripada kuartal sebelumnya. Bahkan secara kuartalan, ekonomi justru mengalami kontraksi sebesar –0,98%.
Inflasi rendah tidak selalu berarti kabar baik jika disertai pelambatan permintaan dan produktivitas. Deflasi yang berulang bisa menjadi pertanda lemahnya daya beli dan kepercayaan konsumen. Jika dibiarkan, itu bisa memicu spiral penurunan ekonomi yang lebih dalam.
Pemerintah tidak boleh sekadar puas dengan angka-angka. Yang dibutuhkan ialah tindakan konkret yang proaktif dan progresif.
TIGA PILAR STRATEGI: DARI BERTAHAN KE MENYERANG
Indonesia butuh fondasi ekonomi baru yang tidak hanya defensif, tetapi juga ofensif. Ada tiga pilar kebijakan yang harus segera ditegakkan dengan keberanian. Pertama, ketahanan energi dan pangan nasional.
Ketergantungan pada BBM impor menjadikan APBN sangat rentan. Pada 2024, impor BBM mencapai lebih dari 160 juta barel, membebani neraca dagang dan subsidi energi. Hilirisasi energi, akselerasi transisi ke energi terbarukan, serta pembentukan cadangan strategis pangan bukan lagi wacana, melainkan strategi bertahan hidup. Negara seperti India telah mengembangkan strategic petroleum reserve, dan Indonesia tak boleh tertinggal.
Kedua, diversifikasi mitra dagang dan diplomasi ekonomi adaptif.
Ketergantungan Indonesia pada mitra dagang tradisional seperti Tiongkok dan AS membuat ekonomi domestik ikut terseret ketika konflik memburuk. Saatnya menjajaki peluang di Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin. Diplomasi ekonomi harus bergerak lebih aktif, seperti yang dilakukan India dan Uni Emirat Arab, yang menjalin kemitraan strategis lintas kawasan dan sektor.
Ketiga, kebijakan fiskal dan moneter yang sinkron dan responsif.
Dengan ruang inflasi yang rendah, Bank Indonesia seharusnya dapat menjaga stabilitas suku bunga untuk mendukung sektor riil. Namun, fiskal pun harus bergerak lincah. Tidak hanya mempertahankan subsidi, tetapi juga menciptakan stimulus fiskal yang tepat sasaran dan padat dampak, seperti insentif UMKM berbasis transformasi digital, dan belanja pemerintah untuk infrastruktur padat karya.
BELAJAR DARI DUNIA: NEGARA GESIT NEGARA SELAMAT
Dunia tidak kekurangan contoh negara yang cerdas membaca arah angin. India menyiapkan jalur digitalisasi keuangan nasional melalui Unified Payments Interface (UPI), membuka akses ekonomi hingga ke pelosok desa. Uni Eropa menggulirkan Repower-EU untuk memutus ketergantungan pada energi Rusia dan mempercepat transisi ke energi hijau. Tiongkok mengembangkan skema dual circulation strategy yang menyeimbangkan permintaan domestik dan ekspor.
Turki bahkan memainkan posisi geopolitik dengan sangat dinamis, menjadi penghubung energi Eurasia, menjaga relasi baik dengan Rusia dan NATO. Kuncinya sama: keberanian, kecepatan adaptasi, dan keberpihakan pada kepentingan strategis nasional jangka panjang.
Krisis sebagai batu loncatan, bukan beban. Indonesia punya peluang langka. Krisis itu bisa menjadi titik balik untuk mentransformasi struktur ekonomi nasional dari ekonomi berbasis komoditas menjadi ekonomi berbasis nilai tambah dan inovasi. Kebijakan hilirisasi nikel yang selama ini dipertanyakan, perlu ditingkatkan dengan ekspansi ke sektor teknologi, baterai listrik, dan manufaktur berorientasi ekspor.
Bukan hanya soal kebijakan ekonomi, melainkan juga bagaimana bangsa ini menyiapkan institusi, SDM, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman.
KESIMPULAN: MENJADI NAVIGATOR DI TENGAH BADAI
Kita hidup di era ketika peta geopolitik bisa berubah dalam satu malam. Ketika pasar berfluktuasi bukan karena data, melainkan karena perang dan tensi politik yang meledak dan memanas di berbagai kawasan belahan dunia lain. Dalam situasi seperti itu, kebijakan ekonomi tidak bisa lambat dan ragu-ragu menyikapi dinamika geopolitik untuk membela dan memperjuangkan kepentingan nasional. Tak ada titik mundur dan tak boleh ada ruang kosong untuk surut dan menyusut.
Indonesia tidak cukup hanya bertahan. Kita harus menavigasi. Menyusun ulang prioritas nasional. Memastikan setiap rupiah anggaran menciptakan efek pengganda dan memastikan bahwa dalam setiap krisis, ada lompatan.
Pada akhirnya, sejarah tidak diingat mereka yang paling berhati-hati, tetapi oleh mereka yang berani mengambil keputusan yang tepat, cepat, dan presisi di tengah ketidakpastian.
- Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Pariwisata Bali mulai berdampak akibat perang Iran-Israel, beberapa penerbangan internasional mengalami gangguan, termasuk pembatalan rute penting dari Timur Tengah.
KETEGANGAN geopolitik di Timur Tengah, khususnya konflik antara Israel dan Iran serta potensi penutupan Selat Hormuz, menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia.
Untuk terus mempromosikan pariwisata Indonesia, di tengah situasi global, ASITA mendorong agar harga tiket pesawat dapat lebih diturunkan.
RATUSAN penumpang pesawat Qatar Airways batal terbang pada Selasa (24/6) malam. Ratusan penumpang maskapai itu pun memilih bertahan di Bandara I Gusti Ngurah Rai sambil menunggu kejelasan jadwal penerbangan.
Meski ketegangan di Timur Tengah belum mereda, harga minyak dunia belum pernah mencapai di atas US$75 per barel dalam beberapa bulan terakhir.
Perkembangan geo politik kawasan Asia dan dunia ikut mempengaruhi kinerja ekspor berbagai komoditas unggulan asal Provinsi Kalimantan Selatan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved